FOTO ikonik yang menampilkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Michel Camdessus berdiri di dekat mantan Presiden Soeharto—dengan lengan terlipat seperti seorang guru sekolah yang marah—dirilis untuk melambangkan kejatuhan pemimpin Indonesia yang telah lama menjabat.
Saat itu adalah tanggal 15 Januari 1998, saat krisis keuangan Asia yang memalukan, dan IMF akhirnya menekan Soeharto untuk menandatangani perjanjian dana talangan sebesar $43 miliar, yang secara efektif mempercepat keruntuhan rezim Orde Barunya yang sudah berdiri selama 32 tahun, empat bulan kemudian.
Yang mungkin tidak banyak orang tahu adalah, peran Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Bill Clinton, dalam meyakinkan Soeharto untuk menerima paket langkah-langkah penghematan IMF—termasuk ‘lonceng kematian’ berupa proyek mobil nasional Timor dan monopoli cengkeh, yang keduanya dikendalikan oleh putra bungsunya, Tommy Soeharto.
Baca Juga:Amerika Serikat Dan China Diambang PeperanganWaspadalah Terhadap Kekacauan di Timur Tengah
Meskipun campur tangan Clinton bukanlah rahasia, namun transkrip dari tiga percakapan telepon yang baru-baru ini dideklarasikan menunjukkan betapa persuasifnya pemimpin AS tersebut dalam meyakinkan Soeharto bahwa ia harus melakukan sesuatu yang sulit dan tak menyenangkan, ketika nilai tukar rupiah jatuh dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp16.000 terhadap dolar AS.
Pada akhirnya, reformasi tersebut hanya memperburuk krisis, di mana dengan kejamnya Perdana Menteri Australia Paul Keating—yang telah menjalin hubungan dekat dengan Pemimpin Indonesia tersebut—mengklaim bahwa Departemen Keuangan AS “dengan sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi sebagai sarana untuk mengatur Soeharto lengser.”
Mantan Menteri Luar Negeri AS Lawrence Eagleburger memiliki penilaian serupa, setelah pengunduran diri Soeharto yang dramatis pada tanggal 21 Mei 1998: “Kami cukup pandai karena kami mendukung IMF saat menggulingkan (Soeharto). Apakah itu cara yang bijaksana untuk dilakukan, adalah masalah lain.”
Bahkan Camdessus yang tak kenal ampun—di mana gayanya yang seperti seorang kepala sekolah pada upacara penandatanganan, meninggalkan kesan yang abadi di antara banyak orang Indonesia yang merasa malu—mengatakan pada saat pensiunnya: “Kami menciptakan kondisi yang mengharuskan Soeharto untuk meninggalkan jabatannya.”
Perilisan transkrip dan dokumen-dokumen AS lainnya dari era itu, terjadi hanya dua bulan sebelum lebih dari 15 ribu delegasi berkumpul untuk konferensi tahunan IMF-World Bank Group di Bali, pada kali keempat pertemuan tingkat tinggi itu diselenggarakan di Asia Tenggara.