JAKARTA-Mada Sukmajati dalam analisisnya di Indonesia at Melbourne mengajukan sejumlah pertanyaan terkait Pilkada tahun ini. Apa dasar keputusan pemerintah untuk menunda Pilkada hingga Desember? Akankah penyelenggara pemilu cukup siap untuk mencegah pemilu berkontribusi pada lonjakan lain dalam kasus COVID-19? Bagaimana prinsip-prinsip kunci demokrasi seperti partisipasi dan kontestasi pemilu, dapat dipertahankan di tengah pandemi?
Dua bulan lalu, ketika sudah jelas Indonesia belum memiliki pegangan pada COVID-19, banyak yang menyarankan Pilkada lebih baik ditunda hingga 2021, karena risiko tinggi memperburuk penyebaran COVID-19. Badan pemilihan umum Indonesia terpecah.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) ingin Pilkada berlangsung tahun ini, sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan mereka harus ditunda hingga 2021.
Baca Juga:Hasil Riset: Warga Indonesia Paling Religius SeduniaAnggaran Setengah Triliun, FSGI Desak KPK Awasi Program Organisasi Penggerak
Namun, pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bertahan dengan rencana untuk mengadakan Pilkada pada 9 Desember. Kementerian Dalam Negeri mengatakan, Pilkada adalah “program strategis nasional” dan oleh karena itu harus dilaksanakan sesuai rencana.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mengatakan, selain peran politik mereka, Pilkada akan mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Ini konsisten dengan posisi Jokowi sejak awal pandemi, yang selalu menekankan pemulihan ekonomi dengan mengorbankan langkah-langkah pengendalian virus yang ketat.
Tidak ada yang salah dengan mengharapkan dorongan ekonomi dari pemilihan kepala daerah. Namun, dengan hanya berfokus pada manfaat ekonomi dari pemilu dapat menyebabkan kurangnya perhatian pada nilai-nilai kunci, prinsip-prinsip, dan praktik demokrasi, Mada Sukmajati menerangkan.
Hal ini dapat menyebabkan para pembuat kebijakan memanfaatkan alasan biaya finansial yang sangat besar untuk mengadakan Pilkada 2020, atau pengeluaran besar yang dibuat oleh kandidat perorangan, dan praktik “politik uang” yang meluas di tingkat akar rumput. Itu bisa membuat lebih banyak orang sakit.
Ada beberapa fase pemilihan kepala daerah 2020, dimulai dengan pengangkatan penyelenggara pemilu di setiap tingkat administrasi dan diakhiri dengan pelaporan dan evaluasi. Setidaknya dua fase melibatkan risiko signifikan peningkatan penularan COVID-19.
Pertama adalah masa kampanye, Mada Sukmajati memaparkan. Di Indonesia, kampanye masih dilakukan secara tatap muka, dengan aliran informasi searah dari seorang kandidat (atau kelompok kandidat) kepada publik. Acara kampanye sering diadakan di atas panggung, terkadang disertai dengan pertunjukan dangdut.