JAKARTA– Mundurnya Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) milik Kementerian Dalam Negeri seharusnya direspon serius oleh Presiden Joko Widodo.
Sebab, mundurnya tiga organisasi besar itu telah mendelegitimasi program POP, sehingga tak ada alasan bagi pemerintah untuk meneruskannya. Demikian disampaikan Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (25/7).
Dalam program Kemendikbud ini, melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Sayangnya telah memperlihatkan kontroversi di tengah masyarakat. “Saya melihat program ini sebaiknya dihentikan saja.” Ujar Fadli Zon.
Baca Juga:Pemerintah Berikan Insentif untuk Industri Media MassaDugaan Bunuh Diri, Inilah Pertanyaan Berulang-ulang Editor Metro TV kepada Kekasihnya
Wakil Ketua Umum Gerindra ini mengatakan, setidaknya ada lima alasan kenapa program ini perlu dihentikan. Pertama, kata dia, payung hukumnya belum jelas. Menurut dia, Komisi X DPR RI mengatakan, anggaran POP ini sebenarnya belum disetujui DPR RI karena pembahasan mengenai peta jalan pendidikan dengan Kemendikbud sendiri belum selesai dilakukan.
Kedua, soal kepantasan. “Di tengah-tengah pandemi ini, apakah pantas memprioritaskan program ini, yang pagu anggarannya mencapai Rp595 miliar?” ujar Fadli Zon
Dia mengatakan, di tahun ajaran baru ini banyak terdengar sejumlah kasus di mana siswa ternyata kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ), karena keterbatasan ekonomi, infrastruktur listrik dan telekomunikasi, serta sumber daya lainnya. “Masalah ini menurut saya jauh lebih mendesak untuk dipecahkan Kemendikbud ketimbang program POP.” Katanya.
“Anggaran yg sangat besar itu sebaiknya digunakan untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan PJJ berjalan lancar dan semua siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran.” Imbuh Fadli.
Ketiga, proses seleksi bermasalah. Sejak awal, seleksi yg dilakukan Kemendikbud terbukti bermasalah. “Saya membaca, awalnya ada organisasi besar sebenarnya tak ikut seleksi, tapi diminta untuk ikut oleh kementerian dua hari sebelum penutupan.” Ucap Fadli
“Ini kan aneh dan sangat tidak profesional. Lalu, dalam proses seleksi administrasi, mereka sebenarnya juga tak lolos, tapi terus diminta ikut dan melengkapi persyaratan oleh panitia. Ada kesan organisasi massa besar diajak hanya untuk melegitimasi semata program ini.” Sambungnya.