Menurut catatan Gunseikanbu dalam Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa, Raden Joesoef lahir pada 3 Februari 1905. Kira-kira setahun sebelum Snouck pulang ke Belanda. Joesoef seperti kakak tirinya, Oemar. Dalam surat Hasan Mustapa pada Snouck tanggal 29 Maret 1912 disebutkan, Oemar menempuh pendidikan di sekolah pemerintah di Betawi (Jakarta). Sebagai cucu dari penghulu dan kerabat bupati, tidak sulit untuk diterima di sekolah dasar elite pemerintah.
Menurut catatan Gunseikanbu pula, Raden Joesoef pernah bersekolah di sekolah dasar 7 tahun Europeesche Lagere School (ELS) dan sekolah menengah 5 tahun Hogere Burger School (HBS). Namun tak dijelaskan letak sekolahnya. Hanya disebut, Joesoef lulus ELS tahun 1919 dan HBS pada 1925.
Lulusan HBS macam Joesoef sebetulnya bisa kuliah, bahkan hingga ke negeri Belanda. Namun, ada halangan bagi Joesoef hingga dia tak kuliah di universitas atau sekolah tinggi. Dia kemudian masuk Politieschool (sekolah polisi) dan lulus tahun 1927 dengan pangkat komisaris polisi. Pangkat itu cukup tinggi, apalagi bagi polisi bumiputra. Dia pernah menjadi komisaris polisi kelas satu di Jakarta, Surabaya, Cirebon, Pontianak, dan Bandung.
Baca Juga:Bahayakah Pemakaian Hand Sanitizier Jika Berlebihan?New Normal Bikin Cemas, Normalkah?
Kemungkinan dia jadi komisaris polisi kelas satu sejak 20 Agustus 1929. Pada 1931, menurut Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1931: Tweede Gedeelte Kalender en Personalia, dia berdinas di Surabaya. Tahun 1935, seperti dimuat Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1935: Tweede Gedeelte Kalender en Personalia, dia menjadi Kepala Teknis Veldpolitie (Polisi Lapangan) di Cirebon. Tahun 1941, menurut Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1941: Eerste Gedeelte Kalender en Personalia, dia bertugas di Pontianak.
Dia tengah berdinas di Bandung jelang runtuhnya Hindia Belanda. Menurut Louise de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog: Voorspel, Joesoef pernah jadi pengawas dari polisi rahasia kolonial bernama Politike Inlichtingen Dienst (PID) di kota itu.
Di zaman pendudukan Jepang, dia tetap menjadi perwira polisi. Menurut catatan Gunseikanbu, sejak 29 April 1942, dia adalah Wakil Kepala Polisi Karesidenan Bandung. Setahun kemudian, pada April 1943, dia menjadi kepala polisi di sana.
Tak hanya dirinya yang mau tidak mau bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang, tapi juga mertuanya, Bupati Bandung Wiranatakusumah. “Dia menawarkan semua laki-laki dari keluarga besarnya untuk dinas militer. Salah satu putranya minta untuk dilatih sebagai pilot oleh Jepang. Anak laki-laki lain menjalani pelatihan perwira polisi senior di Formosa (Taiwan). Anak ketiga dipekerjakan oleh polisi Jepang,” tulis Jan Brouwer dalam Het Vermoorde Land.