Sultan Hamid II, bukan pula seorang pendendam. Walaupun beberapa kali dijebloskan ke penjara oleh Rezim kala itu, dia ikhlas menjalankannya. Dia tak mengambil hati semua keadaan yang ada.Sikap ini dibuktikan pada tulisan HM. Max Yusuf Alkadrie, seorang mantan Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II dalam buku bunga rampai berjudul “Bung Karno Bapakku Guruku Sahabatku Pemimpinku (Kenangan 100 Tahun Bung Karno), oleh penerbit Grasindo Jakarta tahun 2001. Max menulis artikel di buku tersebut dengan sub judul “Teladan Generasi Bung Karno-Saling Hormat dan Santun Dalam Berpolitik”.
Max menyebut kala itu Sukarno sakit keras. “Pertama kali bertemu dengan Bung Karno pada hari Jum’at, tanggal 19 Juni 1970 jam 10.30 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD)-sekarang Rumah Sakit Gatot Soebroto. Dalam kesempatan mendampingi Sultan Hamid II yang akan bezook sekaligus minta maaf atas kekhilafan di masa lalu. Saat membesuk, kami mendapat halangan dari Polisi Militer yang berjaga-jaga di depan. Kami sempat bertikai, karena kami tidak diizinkan masuk walau kami sudah mengatakan, cuma lima menit saja. Akhirnya, setelah debat panjang, saya dan Sultan Hamid II diperbolehkan masuk”.
Lanjut penuturan Max pada tulisan tersebut, “Kondisi Bung Karno sudah sangat memprihatinkan karena benar-benar menderita lahir batin yang mengenaskan. Sultan Hamid II berucap: “Saya Hamid, Bung. Maafkan kesalahan saya, dan kesalahan Bung, saya maafkan.” Bung Karno hanya mengenal suara saja, tidak pada wajah. Tak terasa, air mata jatuh dari mata Sultan Hamid II dan Bung Karno. Tidak sampai lima menit, Sultan Hamid II langsung keluar karena tidak tahan melihat kondisi Bung Karno. Hubungan seterusnya tidak berlanjut setelah Bung Karno wafat pada hari Minggu tanggal 21 Juni 1970 jam 10 pagi.”
Baca Juga:Imam Nahrawi Sebut Taufik Hidayat Pernah Menerima Uang Rp 7,8 Miliar untuk Urus Kasus di KejagungDuduk Perkara Bentrokan Berdarah Militer India-China Menggunakan Pentungan Paku dan Batu, bukan Senjata
Max menyebut hal itu merupakan pengalaman paling berkesan di antara dua tokoh yang berlawanan politik ini, tidak ada dendam di antara mereka. Bahkan walaupun berseberangan secara politik tidak membuat keadaan sebagai masalah lama yang tak terpecahkan. Sultan Hamid II juga tak memelihara kekecewaannya tersebut kepada penguasa hari itu, bahkan ikhlas menerima perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh sebagian bangsanya sendiri.