Memoar Para Tokoh Bangsa, Kepada Sultan Hamid II

Memoar Para Tokoh Bangsa, Kepada Sultan Hamid II
Anshari Dimyati. Foto/www.twitter.com
0 Komentar

Kala ditangkap oleh Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Pertahanan RIS) pada 5 April 1950, Sultan Hamid II tak melawan. Dia tak mengerahkan masyarakatnya di Pontianak, di Kalimantan Barat, untuk memberontak. Sedangkan dia seorang Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Dia tidak mengerahkan ex-KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) untuk melakukan perlawanan atau penyerangan kepada APRIS dan TNI saat itu. Dia memilih diam. Dia terlalu mencintai Indonesia, dia memendam amarahnya, ketika dibohongi dan dizalimi oleh lawan politiknya. Hingga ditahan selama tiga tahun lamanya tanpa proses hukum yang jelas. Westerling lari entah kemana, dia tak diadili sebagai pelaku utama. Bahkan, bukankah saat itu militer sudah menjaga perbatasan darat, laut, dan udara kita? Bagaimana dia bisa disebut lolos kembali ke eropa?

Sultan Hamid II sangat bisa menjadi Presiden RIS, bila berkehendak. Toh, dia Ketua BFO (Bijeenkomst Voor Federale Overleg), Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal, yang memimpin 15 (lima belas) negara-negara bagian di bawahnya. Minus Republik Indonesia berkedudukan di Yogyakarta. Tapi, sekali lagi, dia mencintai Indonesia. Sultan Hamid II lebih memilih ingin menjadi Menteri Pertahanan RIS. Yang mana juga tertolak oleh formatur kabinet, yang dia ikut terlibat di dalamnya.

Dia tak melawan, hanya menghela nafas, ketika cuma diberikan jabatan Menteri Negara Zonderportofolio. Jabatan tanpa tugas khusus. Tugasnya hanya menyiapkan Lambang Negara, dan menyiapkan rumah kabinet. Namun, jabatannya sebagai koordinator panitia lambang negara, dijalaninya dengan baik. Hasilnya adalah lambang Garuda Pancasila yang ada di setiap ijazah-ijazah sekolah kita, di dinding-dinding institusi negara dan swasta, dimanapun ada lambang negara. Sebuah karya luar biasa seseorang yang dianggap pengkhianat oleh sebagian orang di negara kita. Lambang negara yang dirancang oleh si “pengkhianat” itu, masih kita gunakan berpuluh-puluh tahun lamanya, sampai dengan sekarang.

Baca Juga:Imam Nahrawi Sebut Taufik Hidayat Pernah Menerima Uang Rp 7,8 Miliar untuk Urus Kasus di KejagungDuduk Perkara Bentrokan Berdarah Militer India-China Menggunakan Pentungan Paku dan Batu, bukan Senjata

Sultan Hamid II, orang baik. Dia sampaikan dalam Pledoi-nya tahun 1953 bahwa “..saya tetap merasa berbahagia sebagai putera Indonesia, yang telah mendapat kehormatan sebesar-besarnya untuk dapat turut serta di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bagi nusa dan bangsa. Bagaimanapun bunyinya putusan Mahkamah Agung nanti, apakah saya akan bebas ataupun akan dijatuhi hukuman, tenaga saya tetap saya sediakan, apabila kelak negara membutuhkannya..”. Seorang patriot bangsa, tak mungkin membahasakan keinginannya untuk tetap berkontribusi, bila sudah terzalimi oleh negeri yang dia cintai.

0 Komentar