Pada tahun 1903, saat Tarbell tengah mengungkap skandal Standard Oil, ia melihat Rockefeller sedang duduk di sebuah peribadatan gereja. “Sangat menyedihkan, orang yang melihat John Rockefeller duduk dalam sebuah pelayanan di gereja akan merasa ia adalah objek paling menyedihkan di dunia,” tulis Tarbell.
Mendapat kritik keras dari Ida Tarbell lewat bukunya, Rockefeller tak membantahnya. Hal itu diungkapkan Elbert Hubbard yang menggambarkan bungkamnya Standard Oil atas serangan Tarbell yang dia tulis dalam buku berjudul A Little Journey To The Home of John D. Rockefeller.Â
“Hingga saat ini, atau hingga baru-baru ini, perusahaan minyak Standar telah menolak untuk menjawab para penyerangnya. Para manajernya begitu sibuk melakukan hal-hal progresif sehingga mereka tidak punya waktu untuk melakukan perang argumen yang bertele-tele. Kebisuan Standard Oil bisa juga ditafsirkan sebagai pengakuan bersalah.’ ujar Elbert Hubbard.
Baca Juga:Jusuf Kalla Perkirakan New Normal Berlangsung 3 TahunJasa Marga Tegaskan Foto Longsor Tol Semarang-Solo KM 426 di Medsos itu Hoaks
Pada 29 September 1916, seluruh surat kabar di Amerika Serikat mengeluarkan berita tentang John D. Rockefeller yang telah melampaui ‘batasan ajaib’. Statusnya naik dari seorang jutawan menjadi miliarder pertama yang tercatat dalam sejarah. Pemicunya adalah kenaikan harga saham perusahaan Standard Oil.
“Sebanyak 247.692 saham milik Rockefeller kala itu bernilai hampir 499 juta dolar AS. Nilai fantastis ini digabungkan dengan kepemilikannya di sejumlah bank, perusahaan kereta api, juga obligasi tingkat nasional, negara bagian, maupun kota, membuat kekayaannya menjadi beberapa miliar dolar,” demikian cuplikan pemberitaan seperti dikutip dari berita Time yang berjudul Who Was Really the First American Billionaire. Sejak tahun 1916, Rockefeller dijuluki miliarder pertama dan satu-satunya di Amerika Serikat selama periode waktu yang panjang.Â
Seiring bertambahnya kekayaan dan kesuksesan Rockefeller yang luar biasa itu kerap menjadikannya sasaran para jurnalis dan politisi. Mereka memandang raja minyak ini sebagai simbol keserakahan. Mereka juga mengkritik metode yang digunakan Rockefeller dalam membangun kerajaan bisnisnya.
“Dia (Rockefeller) dituduh menghancurkan kompetisi, menjadi kaya dengan potongan harga dari jalur kereta api, menyuap orang untuk memata-matai perusahaan yang bersaing, membuat perjanjian rahasia, memaksa saingan untuk bergabung dengan Standard Oil Company di bawah ancaman dipaksa keluar dari bisnis, membangun kekayaan besar di atas puing-puing orang lain, dan sebagainya,” seperti dikutip dari arsip berita The New York Times edisi 1937