JAKARTA-Pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) teramati dari citra satelit di sepanjang Pulau Jawa sejalan dengan sejumlah peringatan dini terhadap cuaca hujan lebat dan petir di kawasan Jabodetabek. Namun Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan, itu adalah fenomena cuaca yang biasa terjadi pada musim hujan dan musim peralihan.
“Kondisi ini terjadi akibat interaksi antara kondisi atmosfer yang labil, ketersediaan uap air di laut Jawa sebagai energi pembentuk awan Cb, serta topografi di pulau Jawa yang kompleks,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Herizal, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu 30 Mei 2020.
Ia mengatakan topografi tersebut berupa pantai yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia di Selatan Pulau Jawa. Samudera kemudian berhadapan dengan gugusan pegunungan di sepanjang Pulau Jawa. Hal tersebut menyebabkan uap air terdorong ke atmosfer yang lebih tinggi sehingga membentuk gugusan awan hujan yang tumbuh menjulang alias Cumulonimbus.
Baca Juga:Zona Hijau untuk 102 Wilayah Terapkan New Normal, Ini DaftarnyaHasil Riset LSI Denny JA Sebut 158 Wilayah Bisa Terapkan New Normal 5 Juni
“Pada saat ini suhu muka laut di perairan sebelah Selatan Jawa juga sedang dalam kondisi hangat lebih dari 29 derajat Celsius dengan anomali di atas normalnya lebih dari 1 derajat,” katanya.
Sehingga, Herizal melanjutkan, menambah kuat proses pembentukan hujan badai atau thunderstorm yang berasal dari gugusan awan Cumulonimbus di sepanjang Pulau Jawa tersebut.
Sebelumnya, BMKG mengimbau masyarakat untuk mewaspadai hujan disertai kilat atau petir dan angin kencang di sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya pada Sabtu sore dan malam. Peringatan dini itu disampaikan BMKG melalui laman resminya yang terpantau di Jakarta, Sabtu dini hari.
BMKG juga menyebut adanya faktor intrusi udara kering dari Belahan Bumi Utara (BBU) yang melintasi wilayah Samudra Pasifik bagian utara Papua. Dampaknya, kondisi udara di daerah yang berada di depan muka intrusi tersebut menjadi lebih lembap pada 28-30 Mei lalu.
Massa udara basah di lapisan rendah terkonsentrasi di sebagian besar wilayah Indonesia kecuali di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Maluku Utara, dan Maluku.