Susi dan rekan-rekannya juga menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Susi juga mendesak pemerintah, terutama aparat hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik.
“Sikap ini kami buat sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan yang ingin melemahkan dunia akademik,” kata dia.
Baca Juga:KJRI Chicago: 270 WNI di Minneapolis dalam Keadaan AmanPatungan Indonesia-China Rp66.775 triliun, Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Diperpanjang hingga Surabaya
Sementara itu, Staf Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengecam adanya intimidasi ini.
Dia mendesak agar Polri segera melindungi warganya yang mendapat teror dan ancaman.
“Pemberangusan hak ini adalah pembangkangan terhadap Konstitusi,” kata Wana. Dia menilai judul diskusi yang diusung oleh Fakultas Hukum UGM tidak melanggar Konstitusi dan HAM.
Sebab, pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7A dan 7B sehingga membincangkan pemberhentian presiden adalah membincangkan Konstitusi.
“Mereka yang menolak membicarakan pemberhentian Presiden dalam UUD 1945 sebenarnya sedang menolak isi Konstitusi,” kata Wana.
Hal serupa juga diutarakan oleh Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Jamil, tempat Prof Nimatul Huda bernaung.
Jamil menyesalkan teror dan intimidasi yang dialamatkan kepada Prof Ni’matul Huda. Menurut Jamil, diskusi seperti itu murni akademik dan diatur dalam konstitusi.
Baca Juga:Dibahas Jokowi-Trump, Brebes Bakal Tampung Relokasi Pabrik Amerika Serikat dan JepangNenek Usia 100 tahun Sembuh dari Covid-19
“Di perkuliahan mahasiswa S1 saja ada itu. Biasa bagian dari mata kuliah HTN (Hukum Tata Negara). Anak S1 akan diajar tentang konstitusi Undang-undang dan didalam Undang-undang kita kan diatur bagaimana tentang pemakzulan presiden dan sebagainya,” kata dia. (*)