Dekan Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto, menjelaskan setelah polemik itu, sejumlah orang yang terlibat mendapatkan teror sejak Kamis (28 Mei 2020).
“Tanggal 28 Mei 2020 malam, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan: pembicara, moderator, serta narahubung,” kata Sigit dalam keterangan tertulis Sabtu (30 Mei 2020).
“Berbagai terror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta kemudian kepada ketua komunitas ‘Constitutional Law Society’ (CLS) mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka,” lanjut Sigit.
Baca Juga:KJRI Chicago: 270 WNI di Minneapolis dalam Keadaan AmanPatungan Indonesia-China Rp66.775 triliun, Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Diperpanjang hingga Surabaya
Teror, kata Sigit, terus berlanjut hingga Jumat kemarin. Selain yang terlibat dalam mempersiapkan diskusi, keluarga mereka juga menjadi sasaran. Menurut Sigit, ada dua orang tua mahasiswa yang menyiapkan acara itu mendapat pesan teks berisi ancaman pembunuhan. Pengirim pesan mengatasnamakan salah satu organisasi masyarakat.
“Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalo gabisa bilangin anaknya”. Lalu pesan lainnya juga bernada ancaman yang hampir mirip yaitu “Tolong serahin diri aja. Saya akan bunuh satu keluarga *****,” demikian antara lain bunyi pesan itu.
“”Selain mendapat teror, nomor telepon serta akun media-sosial perorangan dan kelompok ‘Constitutional Law Society’ (CLS) diretas pada tanggal 29 Mei 2020. Peretas juga menyalahgunakan akun media-sosial yang diretas untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan (kick out) semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi. Selain itu, akun instagram ‘Constitutional Law Society’ (CLS) sudah tidak dapat diakses lagi,” tambah Sigit.
Asosiasi Dosen Kecam IntimidasiTerpisah, sejumlah asosiasi akademisi mengutuk semua bentuk intimidasi dan ancaman yang ditujukan kepada penyelenggara diskusi akademik yang diselenggarakan oleh civitas akademika UGM itu.
Asosiasi ini antara lain Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), ), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI).
“Konsep kebebasan akademik itu secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Namun kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mengemukakan pemikirannya masih saja mendapat perlawanan dari berbagai pihak,” kata Susi Dwi Harijanti, salah seorang perwakilan dari asosiasi melalui keterangan tertulis pada Jumat, 29 Mei 2020.