Tentu saja, tidak satu pun dari debat internal Israel ini yang menentang aneksasi karena melanggar hukum internasional, menolak otoritas PBB atau Uni Eropa, dan mengabaikan hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut.
Sikap keberatan terhadap aneksasi dari masyarakat dan pemerintah Israel disampaikan atas berbagai kekhawatiran tentang dampak negatif bagi keamanan Israel.
Secara khusus, para kritikus dari kalangan keamanan nasional Israel ini khawatir langkah ini mengganggu tetangga-tetangga Arab dan semakin mengasingkan opini publik internasional, khususnya di Eropa. Sampai batas tertentu para kritikus khawatir akan melemahkan solidaritas Yahudi Amerika dan Eropa untuk Israel.
Baca Juga:Tidak Sesuai TAP MPR Etika Kehidupan Berbangsa, Mantan Kontributor Majalah Playboy jadi Dirut TVRIBagaimana ‘Jakarta’ Menjadi Kata Kunci untuk Pembunuhan Massal yang Didukung Amerika Serikat
Sisi pro-aneksasi juga menyebutkan pertimbangan keamanan, terutama yang berkaitan dengan Lembah Yordan dan permukiman. Tetapi lebih dari itu. Berbeda dengan para kritikus, pendukung aneksasi yang lebih bersemangat adalah penuntut tanah.
Mereka mengajukan ‘hak alkitabiah’ Yahudi ke Yudea dan Samaria (dikenal secara internasional sebagai Tepi Barat). Hak ini diperkuat dengan merujuk tradisi budaya Yahudi dan koneksi hubungan selama berabad-abad antara kehadiran kecil orang Yahudi dan tanah ini yang dianggap suci.
Seperti halnya kritikus Israel tentang pencaplokan, para pendukung merasa tidak perlu menjelaskan, atau bahkan memperhatikan, pengabaian atas keluhan dan hak-hak Palestina.
Kaum Annexasionis tidak berani mengemukakan argumen bahwa klaim-klaim Yahudi lebih layak mendapat pengakuan daripada klaim nasional Palestina yang bersaing, tidak diragukan lagi karena kasus mereka begitu lemah dalam hal gagasan hukum modern dan etika hak.
Seperti yang terjadi di sepanjang narasi Zionis, keluhan, aspirasi, dan bahkan keberadaan rakyat Palestina, bukanlah bagian dari imajiner Zionis kecuali sebagai hambatan politik dan hambatan demografis.
Ketika seseorang mempertimbangkan evolusi penyimpangan Zionisme sejak awal, aspirasi jangka panjang untuk meminggirkan warga Palestina dalam satu negara Yahudi yang dominan yang mencakup seluruh “tanah perjanjian” Israel ini tidak pernah diabaikan.
Dalam hal ini, rencana pemisahan PBB –walaupun diterima sebagai solusi pada saat itu– lebih dipahami sebagai batu loncatan untuk mengambil tanah yang dijanjikan itu.
Baca Juga:Final Coppa Italia 17 JuniLiga Besar Eropa Siap Bergulir Kembali
Dalam perjalanan 100 tahun terakhir, dari perspektif Zionis utopia menjadi kenyataan, sementara bagi Palestina realitas menjadi distopia.