Pemerintah Israel memutuskan untuk tidak menjual senjata ke Indonesia karena tiga alasan: penolakan Indonesia untuk menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel; kesulitan menjaga kerahasiaan; dan risiko bahwa penjualan itu akan membahayakan hubungan Israel dengan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Dalam sebuah Telegram kepada direktur Kementerian Luar Negeri tanggal 11 April 1958, diplomat Israel Walter Eytan menulis: “Masalah itu tidak akan terus menjadi rahasia, seperti halnya kesepakatan dengan Nikaragua dan Kuba tidak terus menjadi rahasia. Setiap penjualan senjata ke Indonesia akan menimbulkan permusuhan dengan negara-negara Asia yang penting. Seperti yang kita lihat di Amerika Selatan, negara-negara Asia lainnya akan mendekati kita dengan permintaan serupa dan kita akan berada dalam masalah serius, sama seperti kita mendapat masalah serius di Amerika Latin.”
Pada pertemuan Kementerian Luar Negeri Israel pada 4 April 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban meringkas hubungan antara Israel dan Indonesia pada waktu itu: “Kami sedang mencari kepemimpinan baru. Kami dapat menjangkau dan mendiskusikan beberapa hal praktis yang memungkinkan perwakilan Israel di Indonesia, untuk beberapa perusahaan pembangunan dan ekonomi. Semuanya didasarkan pada Sukarno yang digulingkan.”
Baca Juga:Beredar Isu ‘Sayonara The Jakarta Post’, Pemimpin Redaksi: Tetap Terbit, Benahi Perusahaan Menuju Era DigitalGubernur: Jangan Mencari Kerja di Banten
Dokumen Kementerian Luar Negeri Israel mengungkapkan bahwa dalam beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, Mossad tahu siapa yang bertanggung jawab. Sebuah laporan yang ditulis pada 15 November 1966—hanya enam bulan setelah pembantaian dilakukan—menggambarkan rangkaian peristiwa: “Pada Oktober 1965, kaum komunis mencoba mengambil alih pemerintah dengan bantuan China daratan. Militer berhasil menghentikan upaya pengambilalihan dan Partai Komunis dinyatakan ilegal.”
“Partai Komunis Indonesia—yang merupakan partai paling kuat di Indonesia dengan tiga juta anggota—di bawah kepemimpinan DN Aidit, berkolaborasi dengan China,” lanjut laporan itu. “Jika percobaan kudeta berhasil, China akan memiliki keuntungan signifikan yang akan mendistribusikan kembali keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Pembantaian massal terhadap para peserta pemberontakan dan keluarga mereka dilakukan, di mana jumlah korban antara 300.000 hingga 700.000 jiwa. Pada bulan Maret 1967, tentara mengambil alih, di bawah kepemimpinan Jenderal Suharto.”