إنَا نخطب، فمن أحب أن يجلس للخطبة فليجلس، ومن أحب أن يذهب فليذهب
“Aku (Rasulullah) akan berkhutbah. Siapa yang ingin duduk mendengarkan, silakan. Siapa yang ingin pergi, juga silakan” (HR. Abu Daud no.1155, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 2289).
Andaikan khutbah Id itu wajib, maka akan diwajibkan pula untuk mendengarkannya.
Adapun ketika shalat Id dilakukan di rumah, sebagian ulama tetap menganjurkan untuk ada khutbah, ketika dilakukan secara berjama’ah di rumah. Dalilnya, mereka mengqiyaskan dengan shalat Id dilapangan. Dalam kitab Mughnil Muhtaj (1/589) disebutkan:
ويسن بعدهما خطبتان للجماعة تأسيا به – صلى الله عليه وسلم – وبخلفائه الراشدين، ولا فرق في الجماعة بين المسافرين وغيرهم
Baca Juga:29 Hari, Polisi Putar Balik Arah Kendaraan 68.946 UnitRekam Jejak Kelam Kecelakaan Pesawat Pakistan
“Disunnahkan setelah shalat Id ada khutbah bagi jama’ah dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para Khulafa Ar Rasyidin. Tidak ada perbedaan antara jama’ah musafir maupun selain mereka”.
Namun, wallahu a’lam, yang lebih tepat dalam hal ini adalah tidak ada khutbah ketika shalat Id dilakukan di rumah. Sebagaimana praktek para salaf yang telah disebutkan riwayat-riwayatnya, dari Anas bin Malik, Ma’mar bin Abdillah, Ikrimah, Atha’, Qatadah, Ibrahim An Nakha’i dan lainnya, tidak menyebutkan bahwa mereka melakukan khutbah ketika tertinggal shalat Id atau ketika melakukan shalat Id di rumah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashri Al Barrak ketika ditanya mengenai cara melaksanakan shalat Id di rumah karena adanya wabah, beliau menjelaskan:
فإنَّ صلاةَ العيد إذا تعذَّرت إقامتُها لمانعٍ، كما في هذه الأيام، فحكمُها هو حكمُ مَن فاتته هذه الصَّلاة، أعني صلاةَ العيد . وللعلماء في ذلك مذاهب، قيلَ: يُصلِّيها ركعتين، وقيلَ: أربعًا.
وقيلَ: يُصلِّيها على صفتها، وهو الصَّحيح، أي: يُصلِّيها ركعتين، ويُكبِّر التَّكبيرات الزَّوائد، ويجهرُ فيها بالقراءة ولا يخطب، كما هو الشَّأن في كلِّ عبادة مقضيَّة، أنَّها تؤدَّى على صفتها، وتُصلَّى فرادى وجماعة.
ويدلُّ لذلك فعلُ أنسٍ بن مالك -رضي الله عنه- أنَّه إذا فاتته صلاةُ العيد جمعَ أهله وبنيه، ثم قامَ عبدُ الله بن أبي عتبة مولاه فصلَّى بهم ركعتين، يكبرُ فيهما، كصلاة أهل المصر وتكبيرهم
“Shalat Id ketika tidak bisa dilakukan (secara normal) karena ada penghalang, sebagaimana kondisi sekarang ini, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang terlewat shalat Id. Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Sebagian ulama mengatakan: shalat dua rakaat. Sebagian lagi mengatakan: shalat 4 raka’at.
Sebagian lagi mengatakan: shalat sebagaimana tata cara asalnya. Inilah pendapat yang tepat. Yaitu shalat dua raka’at, bertakbir dengan takbir zawaid, mengeraskan suara bacaannya, dan tidak ada khutbah. Sebagaimana tata cara semua ibadah yang di-qadha, maka dikerjakan sebagaimana tata cara asalnya. Boleh dikerjakan secara sendirian, boleh juga berjama’ah.
Ini ditunjukkan oleh perbuatan Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasanya ketika ia terlewat shalat Id, maka beliau mengumpulkan istrinya dan anaknya, kemudian Abdullah bin Abi Utbah pembantu beliau mengimami mereka shalat dua raka’at. Ia bertakbir (zawaid) dalam shalatnya, sebagaimana shalat dan takbirnya penduduk kota (yang tidak sedang safar)” (Sumber: https://sh-albarrak.com/article/18234).