PRO kontra tentang pelaksanaan shalat Idul Fitri di masjid atau di tanah lapang marak diperbincangkan dalam minggu akhir bulan Ramadan ini. Pro kontra tersebut sangat wajar, karena menempatkan keberadaan virus corona yang ada sekarang ini sebagai salah satu yang dapat dijadikan alasan adanya perubahan atau dispensasi hukum (rukhshah) merupakan wilayah ijtihad.
Karena itu munculnya kebijakan yang berbeda dan beragam antar daerah dapat dimaklumi sebagai konsekwensi logis dari sebuah ijtihad. Termasuk perbedaan sikap antara MUI pusat dan daerah. Demikian juga perbedaan dalam tataran pelaksanaan di lapangan terhadap Fatwa MUI Pusat, karena kondisi lokal masing-masing daerah berbeda. Tidak menutup kemungkinan kebijakan ormas keagamaan pusat dan daerah juga terjadi perbedaan.
Di dalam hukum Islam (fikih) terdapat ketentuan tentang tata cara pelaksanaan shalat khauf yaitu shalat wajib yang dilakukan dalam kondisi bahaya (peperangan). Tata cara pelaksanaan shalat khauf tentu tidak sama dengan tata cara pelaksanaan shalat wajib dalam kondisi normal (aman). Tidak ada perbedaan di kalangan para ‘ulama tentang diperbolehkannya tata cara pelakasnaan shalat khauf yang berbeda dengan shalat dalam kondisi normal tersebut.
Baca Juga:Hacker Ancam Rilis 169 Email Rahasia Memalukan TrumpJokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Corona, Jawaban JK Telak: Kalau Virusnya Gak Mau Gimana?
Dari ketentuan shalat khauf tersebut minimal ada dua hal yang dapat diambil pelajaran. Pertama kewajiban agama (dalam hal ini shalat) tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun. Kedua, Islam dalam menetapkan syariat (kewajiban agama) selalu memperhatikan dan mempertimbangkan keselamatan jiwa.
Latar belakang munculnya aturan tentang shalat khauf adalah kondisi peperangan, substansinya agar kewajiban agama tetap terlaksana di satu sisi, dan di sisi lain keselamtan jiwa tertap terjaga. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ketentuan tersebut hanya berlaku ketika ada peperangan dan hanya diperuntukkan bagi shalat wajib? Tentu tidak. Peperangan sebagai sebab dan tata cara shalat khauf sebagai akibat adalah sesuatu yang intrumental, sedangkan terlaksananya kewajiban agama dan keselamatan jiwa adalah sesuatu yang esensial. Sesuatu yang intrumental bisa berganti bentuk, sedang sesuatu yang esensial berlaku universal.
Bila berpijak dari pola pikir demikian yaitu dengan menganalogkan terhadap ketentuan shalat khauf tersebut maka sesungguhnya tidak terlalu sulit dan tidak perlu terlalu khawatir memahami kebijakan pemerintah yang menganjurkan dan menghimbau agar umat Islam tidak melaksanakan shalat Idul Fitri di masjid atau d tanah lapang. Mengapa demikian ? Ada beberapa hal yang bisa dikemukakan; pertama imbauan atau anjuran pemerintah dan sebagian MUI (propinsi atau kabupaten) untuk tidak melaksanakan shalat Idul Fitri di masjid atau di tanah lapang tersebut adalah semata-mata untuk menjaga kesalamatan jiwa. Bukan melarang melaksanakan shalat Idul Fitri, tetapi hanya pengalihan tempat dari masjid ke rumah, dan pengalihan bentuk dari berjamaah dalam jumlah banyak ke jamaah dalam jumlah terbatas (sekeluarga) atau sendiri (munfarid). Kedua, ketika shalat yang hukumnya wajib saja tata caranya dapat berubah (sebagaimana shalat khauf), maka shalat Idul Fitri yang hukumnya sunnah tentu lebih diperbolehkan (qiyas aulawy), karena esensinya sama yaitu menjaga keselamatan jiwa karena ada bahaya. Bahaya dalam ketentuan shalat khauf adalah musuh perang, bahaya dalam larangan shalat Idul Fitri di masjid atau di tanah lapang adalah menularnya virus corona.