Namun, kali ini bukan untuk mengangkut dan mengawal mahasiswa berdemonstrasi, melainkan berhadapan dengan Mahasiswa.
Dari 1998 hingga 1999 merupakan periode perlawanan mahasiswa yang bersimbah darah.
Derap sepatu lars, suara kokangan senjata, letusan dan dentuman berbaur dengan orasi dan teriakan menjadi suara yang didengar setiap hari.
Satu per satu mahasiswa gugur ditembak mati di jalan, tempat mereka menyampaikan aspirasi.
Baca Juga:Ramai Fenomena Matahari ‘Lockdown’, Ini Penjelasan LAPANPeneliti LAPAN Ungkap Puncak Aktivitas Matahari Diperkirakan 2024 Picu Gangguan Komunikasi
Yaitu, Moses Gatotkaca (8 Mei 1998), Hedriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan dan Herry Hartanto (Trisakti 12 Mei 1998).
Kemudian Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo, Sigit Prasetyo, Teddy Wardani dan Bernardus Realino Norma serta satu pelajar Lukman Firdaus (Semanggi I, November 1998).
Satu Mahasiswa UI, Yap Yun Hap ditembak mati di Semanggi 28 September 1999.
Di hari yang sama dua mahasiswa Lampung juga meninggal dunia yaitu M Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria.
Satu mahasiswa Palembang, Meyer Adriansyah meninggal pada 5 Oktober 1999.
Reformasi tidak gratis, reformasi dibayar tunai dengan darah dan nyawa puluhan mahasiswa dan aktivis (di luar dari ribuan lainnya yang luka dan cacat).
Reformasi lahir dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu Mahasiswa.
Di atas seluruh pengorbanan itulah kebebasan dibuka, demokrasi dibangun dan Indonesia merangkai kembali harapan di atas kesetaraan tanpa diskriminasi.
Baca Juga:Gempa Pangandaran Akibat Aktivitas Lempeng Indo-Australia, Menyusul JogjaKonser BPIP Langgar Physical Distancing, Bamsoet: Saya Minta Maaf
Berikutnya puluhan partai baru berdiri. Kebebasan pers terbuka lebar, banyak organisasi buruh, tani dan organisasi Rakyat dideklarasikan. Jabatan presiden dibatasi hanya dua periode.
Pileg, pilpres dan pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung dan suara terbanyak. Pemimpin baru bermunculan.
Polisi dan tntara dipisahkan dari ABRI, sehingga menjadi lebih profesional dalam tupoksi masing masing.
Newmont dan Freeport kembali ke pangkuan bumi Pertiwi, kembali dimiliki bangsa sendiri. Reformasi memang belum sempurna, tetapi pelan-pelan, buah reformasi mulai tumbuh dan dinikmati banyak orang.
Termasuk mereka yang menolak reformasi, para pembenci reformasi, bahkan juga dinikmati mereka yang menembak, menculik, menyiksa dan membunuh mahasiswa.
Hari ini, setelah 22 tahun, ke mana para pejuang reformasi itu? Aktivis 1998 berbeda dengan aktivis 66.
Jika aktivis 66 demonstrasi dalam rentang waktu 60 hingga 90 hari, kemudian menikmati jabatan dan kekuasaan selama 33 tahun, maka itu berbanding terbalik dengan aktivis 1998.