Pandemi COVID-19 yang telah menewaskan puluhan ribu orang di Amerika Serikat bersumber dari Kota Wuhan, China. Wabah itu kemungkinan menimbulkan lebih banyak korban di seluruh dunia karena kurangnya transparansi dari Partai Komunis China. Meskipun ada jaminan pada 2015 dari Presiden China Xi Jinping, pemerintah China telah melakukan militerisasi terhadap pulau-pulau di Laut China Selatan. Keputusan itu, dikombinasikan dengan teknik intimidasi China, telah memicu krisis regional yang terus berlangsung.
Terletak di Samudra Pasifik bagian barat, Laut China Selatan adalah gerbang komersial utama di kawasan Indo-Pasifik, yang menyumbang lebih dari US$3 triliun total perdagangan setiap tahunnya. Enam negara memiliki klaim dan kepentingan yang saling bersaing di Laut China Selatan, tetapi China adalah satu-satunya negara dengan klaim kedaulatan atas hampir seluruh wilayah.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag dengan tegas dan bulat menolak klaim kedaulatan China yang memiliki cakupan luas di Laut China Selatan. Meskipun demikian, China telah menciptakan 3.200 1.295 hektar tanah baru di Laut China Selatan, mengubah karang batu yang awalnya nyaris tidak bisa memecah permukaan air hingga kini menjadi pos-pos militer yang luas serta penuh landasan pacu, pelabuhan, pesawat tempur, radar, dan persenjataan angkatan laut.
Baca Juga:Mendekati Bumi, LAPAN Sebut Komet Swan akan Terlihat di IndonesiaBentuk Formasi Segitiga Berdekatan: Bulan, Jupiter dan Saturnus 12 hingga 15 Mei
Tidak puas hanya dengan membangun kekuatan militer di kawasan tersebut dan menunggu keseimbangan militer untuk bergeser secara menguntungkan, pemerintah China telah secara sistematis mengirim kapal Penjaga Pantai dan Milisi Militer Angkatan Bersenjata Rakyat (PAFMM) untuk menyerang dan menggertak pihak-pihak lain di kawasan tersebut. Bahkan, awal 2020, Penjaga Pantai China menabrak dan menenggelamkan kapal penangkap ikan Vietnam yang beroperasi di sekitar Kepulauan Paracel, lantas menuduh Vietnam memancing secara ilegal di perairan internasional.
Bradley Bowman dan Liane Zivitski dari The Washington Examiner berpendapat, negara-negara penuntut klaim seperti Vietnam dan Filipina dapat mengalami lebih banyak masalah serupa jika kehadiran Angkatan Laut Amerika Serikat tersingkirkan dari perairan tersebut.
China mungkin belum memiliki kekuatan yang cukup untuk menangkis kemampuan AS untuk transit di rute-rute perdagangan Laut China Selatan yang penting, tetapi China sedang bekerja keras untuk mengubah situasi tersebut. Perkembangan semacam itu akan menghidupkan kembali praktik berbahaya berlandaskan kekuatan, bertentangan dengan hukum dan norma internasional yang telah mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan di Amerika Serikat dan seluruh dunia.