“Sebagian aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakan ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus. Sebagian lain yang ada di bawah jembatan layang menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia,” demikian kejadian itu berlangsung sebagaimana dikutip Soekisno dari sumber SMUT (hlm. 100-101).
Penyelesaian yang Kabur
Pada 28 Mei Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo menyatakan kepada publik bahwa personil Polri dan Brimob yang bertugas mengamankan Trisakti tak dibekali peluru tajam. Padahal hasil otopsi menunjukkan bahwa keempat mahasiswa itu tewas tertembus peluru tajam. Rekaman peristiwa yang disiarkan beberapa stasiun televisi pun dengan jelas memperlihatkan bagaimana polisi melakukan tembakan ke arah mahasiswa.
Penyangkalan Polri itu kemudian memunculkan spekulasi tentang adanya satuan lain yang melakukan penembakan terhadap mahasiswa. Diduga pasukan itu tak mengenakan seragam identitas saat melakukan penembakan. Dugaan itu juga muncul dalam sidang Mahkamah Militer yang digelar untuk mengadili kasus itu.
Baca Juga:Pesawat Logistik Jatuh di Danau Sentani, Pilot Ditemukan Meninggal DuniaHasil Studi: Pasien Corona Bisa Kehilangan 11 Tahun Masa Hidupnya
James Luhulima dalam Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto (2001) menulis, “Meskipun tidak disebutkan, pasukan mana, santer di masyarakat bahwa pasukan yang tidak dikenal itu adalah pasukan Kopassus. Sebab, pasukan ini pun menggunakan senjata Styer meskipun versinya berbeda dengan yang digunakan Brimob” (hlm. 116).
Delapan belas polisi diajukan sebagai terdakwa dalam kasus penembakan itu. Adnan Buyung Nasution yang menjadi pembela mereka menyatakan bahwa para terdakwa itu hanya korban, bukan pelaku sebenarnya. Hingga setahun setelahnya pengungkapan siapa dalang dan penembak sebenarnya tetap gelap (hlm. 116 dan 119).
Kapten Polisi Agustri Heryanto, salah seorang terdakwa, angkat bicara soal kasus itu pada 2003. Ia mengaku bahwa para terdakwa adalah kambing hitam dan alat politik atasannya belaka. “Itu sidang dagelan. Saya bukan penembak tapi diadili sebagai penembak,” katanya sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2003.
Tempo juga menyebut pembentukan panitia khusus oleh DPR untuk menyelidiki kasus ini. Namun, panitia khusus itu malah memberi kesimpulan kontroversial: tak ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus penembakan itu, karenanya cukup diselesaikan lewat Mahkamah Militer. Upaya hukum juga pernah dilakukan Komnas HAM, namun berkasnya mandek di Kejaksaan Agung.