Namun, sampai saat itu nama Universitas Trisakti adalah minor. Hampir tak ada berita di media-media besar ibu kota yang memperhatikan aksi mahasiswa Trisakti. Bisa jadi mahasiswa Trisakti ikut pula dalam demonstrasi gabungan, tapi sejauh ini mereka tak dikenal.
Ini agaknya soal stereotipe juga. Trisakti adalah universitas swasta yang lekat dengan citra mahal, kampusnya anak orang berpunya. Tak ada yang mengasosiasikannya sebagai kampus aktivis laiknya UI, UGM, atau ITB.
“Hampir tak ada yang memandang mereka sebagai hero dan martir. Universitas Trisakti adalah tempat bagi para model yang suka bergaya. Tapi, tak ada yang lebih gaya di Indonesia pada masa itu selain protes,” tulis Parry (hlm. 190).
Baca Juga:Pesawat Logistik Jatuh di Danau Sentani, Pilot Ditemukan Meninggal DuniaHasil Studi: Pasien Corona Bisa Kehilangan 11 Tahun Masa Hidupnya
Trisakti luput dari pemberitaan media, tetapi bukan berarti mahasiswanya tak bergerak. Soekisno Hadikoemoro dalam Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 (1999) mencatat, setidaknya dua kali mahasiswa Trisakti menggelar unjuk rasa, yaitu pada 23 Maret dan 18 April. Keduanya berupa mimbar bebas di dalam lingkungan kampus.
Dengan dukungan ikatan alumninya, mahasiswa Trisakti juga menggelar aksi sosial. Sebagai tindak lanjut dari mimbar bebas itu, Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) menggelar aksi sosial berupa pembagian sembako dan pemeriksaan kesehatan.
Mimbar bebas kedua yang diinisiasi SMUT adalah sebuah percobaan untuk sebuah aksi turun ke jalan. Usai mimbar bebas, SMUT mencoba mengorganisasi massanya untuk keluar kampus. Tak jauh, mereka hanya keluar dari kampus melalui gerbang di Jalan Kiyai Tapa lalu memutar dan masuk kembali ke kampus melalui gerbang di Jalan S. Parman (hlm. 69-71).
Itulah semua persiapan menuju demonstrasi besar mahasiswa Trisakti pada 12 Mei. Mereka bergerak dengan membawa dukungan dari pimpinan universitas dan para guru besar. Bahkan di hari itu, Rektor Universitas Trisakti Profesor Dr. Moedanton Moertedjo dan Ketua Umum Yayasan Trisakti Ir. Trisulo ikut menyampaikan orasi (hlm. 72).
Sejak pukul 11.00, sekitar 6.000 mahasiswa menyemut di pelataran parkir Kampus A Universitas Trisakti. Tuntutan pengunduran diri Soeharto dan reformasi politik jadi seruan utama para orator. Parry menyebut para demonstran juga membakar patung Soeharto. “Ini tindakan berani walau bukan belum pernah terjadi sebelumnya” (hlm. 193).