12 Mei 1998, tepat hari ini dua puluh dua tahun lalu, koresponden luar negeri The Times (London) Richard Lloyd Parry baru saja bangun tidur dan hendak menulis reportase. Seharian ia meliput demonstrasi mahasiswa Universitas Trisakti yang berjalan cukup tertib. Ia kaget membaca beberapa berita yang berseliweran di internet soal demonstrasi siang itu.
Saat pulang ke hotel menjelang petang, semua baik-baik saja. Mahasiswa dan polisi sama-sama balik kanan. Tetapi, berita yang ia baca menyebut dalam beberapa jam terakhir polisi melepas tembakan ke arah mahasiswa di kampus Trisakti. Koleganya dari Reuters yang ia hubungi membenarkan berita itu.
Tak ambil sela, Parry bergegas menuju Rumah Sakit Sumber Waras di mana para korban penembakan dirawat. Rumah sakit yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari kampus Trisakti itu dipenuhi mahasiswa. Suasana begitu muram. Beberapa mahasiswa berkerumun, membicarakan sesuatu dengan suara pelan. Beberapa mahasiswa tampak terluka akibat bentrok dengan polisi. Lainnya terlihat menangisi sesuatu.
Baca Juga:Pesawat Logistik Jatuh di Danau Sentani, Pilot Ditemukan Meninggal DuniaHasil Studi: Pasien Corona Bisa Kehilangan 11 Tahun Masa Hidupnya
“Reporter berkerumun di sekeliling seorang perempuan, saat dia membacakan daftar empat nama, seluruhnya pria, mahasiswa Trisakti yang tertembak mati dua jam yang lalu: Hendriawan, Hafidin Royan, Hery Hartanto, Elang Mulya Lesmana,” tulis Parry dalam bukunya, Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan (2008: 196-197).
Di sebuah ruang khusus, ia menyaksikan jasad keempat mahasiswa itu. Ia sempat mengabadikan foto Hery dan Hendrawan sebelum diminta keluar ruangan. Di koridor rumah sakit Parry bertemu seorang diplomat luar negeri yang ia kenal dan kemudian mereka terlibat pembicaraan.
Si diplomat menunjukkan dua selongsong peluru kepada Parry. Satu peluru karet berujung tumpul yang biasa digunakan aparat membubarkan demonstrasi. Satu lagi peluru tampak berbeda, mulut selongsongnya agak bergerigi.
Dalam bukunya, Parry mencatat kata-kata si diplomat kepadanya, “Yang satu kosong—yang satu peluru tajam. Ini bukti. Mereka menembakkan peluru tajam” (hlm. 198).
Kronologi Peristiwa
Demonstrasi dan aksi keprihatinan mahasiswa telah merebak di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia sejak Maret 1998. Tak jarang pula aksi-aksi mahasiswa itu berujung ricuh. Sepanjang April eskalasinya kian naik diikuti beberapa kasus penculikan aktivis.