Sanad atau rentetan transmisi keilmuan begitu dihargai di sana. Bahkan, dalam konteks Indonesia, peran pesantren tidak hanya sebatas pendidikan, melainkan juga perjuangan kemerdekaan. Hal itu pernah disimpulkan peneliti Asia Tenggara, Harry J Benda, dalam bukunya yang membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dia menekankan, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri serta pengaruhnya bagi kehidupan beragama, sosial, serta politik Indonesia.
Federspiel menjelaskan bahwa menjelang abad ke-17, keberadaan pondok pesantren di Jawa telah menjadi kutub penyeimbang terhadap kekuasaan keraton-keraton. Kultur abangan yang diakomodasi kalangan keraton mendapatkan hubungan diametralnya dengan budaya Islam santri. Para santri belajar kitab kuning yang terbit dalam kurun waktu sejak medio abad ke-13.
Mereka pada umumnya mempelajari ragam keilmuan, mulai dari tata bahasa Arab, nahwu dan sharaf, tafsir dan membaca Alquran (qiraat), tauhid, fiqih empat mazhab, khususnya Imam Syafii, akhlak, mantiq, sejarah, hingga tasawuf. Selain itu, aksara Jawi, yakni huruf Arab dengan bahasa Melayu, kian memantapkan signifikansi pesantren sebagai pusat transfer ilmu yang menjaga corak khas Nusantara di tengah-tengah dunia Islam.
Baca Juga:Bayi 2 Tahun Meninggal Dunia karena Virus Corona, Satu Keluarga Jalani Swab TestBIN Bantu Unair Alat Laboratorium Canggih untuk Penelitian Covid-19
Dalam corak pendidikan pesantren, setidaknya ada beberapa ciri khas, antara lain, hubungan yang akrab antara kiai atau pendiri pesantren itu dan para santri. Kemudian, kehidupan yang sederhana atau mendekati zuhud, kemandirian, gotong royong, pemberlakuan aturan agama secara ketat, serta kehadirannya di tengah masyarakat sebagai pemberi solusi dan mengayomi, alih-alih eksklusif dan berjarak. Selain itu, teknik pengajaran juga terbilang unik. (*)