PEMERINTAH Filipina menutup stasiun televisi terbesar usai bersitegang dengan Presiden Rodrigo Duterte. Langkah itu dinilai menyeret kebebasan pers ke jurang kematian.
Stasiun televisi dan radio terbesar di Filipina ABS-CBN terpaksa berhenti mengudara usai gagal memperpanjang izin siaran. Keputusan tersebut memperkuat tuduhan bahwa pemerintah Filipina memberedel media-media kritis.
Lisensi siaran yang berlaku selama 25 tahun berakhir pada Selasa (05/05). Sebelumnya ABS-CBN sempat mencoba mengajukan perpanjangan izin siaran kepada parlemen Filipina. Namun hingga kini permohonan tersebut belum juga dibahas.
Baca Juga:Perayaan Waisak di Candi Borobudur DitiadakanIni 3 Cara Menyimpan Bumbu Dapur agar Tak Cepat Busuk dan Bau Tengik
Kementerian Kehakiman mengatakan ABS-CBN bisa mengajukan banding atas keputusan pemerintah tidak memperpanjang izin siaran mereka.
“Bagi kami pembredelan ini sangat menyakitkan, juga sama menyakitkannya buat jutaan warga Filipina yang menganggap layanan kami penting buat mereka,” kata Direktur ABS-CBN, Mark Lopez, di depan kamera sebelum kanal ditutup.
Perpecahan antara ABS-CBN dan Presiden Rodrigo Duterte berawal pada 2016, ketika sang presiden menuduh stasiun televisi itu membatalkan tayangan iklan kampanye secara sepihak, tanpa mengembalikan uang yang telah dibayarkan.
Sebaliknya ABS-CBN sejak awal mengkritik gaya kepemimpinan Duterte, terutama dalam perang narkoba yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Februari silam Jaksa Agung José Calida mengajukan permintaan penghentian izin operasi ABS-CBN kepada Mahkamah Agung. Pemerintah beralasan pihak manajemen melanggar ketentuan lisensi yang melarang saham media nasional dijual kepada pihak asing. ABS-CBN menepis tuduhan tersebut.
Izin siaran bagi ABS-CBN sejatinya berakhir Maret silam, tapi diperpanjang selama 60 hari menyusul wabah corona. Namun Calida mengajukan banding atas putusan tersebut. Pemerintah ingin agar stasiun televisi dan radio milik ABS-CBN berhenti beroperasi sesegera mungkin.
Organisasi HAM dan lembaga pers Filipina sontak menuduh pemerintah melancarkan perang terhadap kebebasan berpendapat. “Ini menjadi pukulan serius bagi kebebasan pers di FIlipina,” kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
Baca Juga:3 Jenis Minuman Ini Sebaiknya Jangan Dikomsumsi Saat SahurNegara Arab Ini Resmi Legalkan Budi Daya Ganja demi Selamatkan Ekonomi
“Sulit membayangkan Duterte tidak berurusan apapun dengan perintah penutupan ini,” imbuhnya.
Sementara Butch Olano dari Amnesty International menilai langkah pemerintah “sangat tidak bertanggungjawab di saat warga sedang menghadapi pandemi COVID-19.”
“Ini adalah hari yang gelap bagi kebebasan media di Filipina, mengingatkan kita pada UU Darurat Militer ketika rejim diktatur mengambilalih semua kantor berita,” kata dia.