JAKARTA — Wilayah perairan Indonesia menyimpan potensi bahaya tsunami non tektonik yang cukup besar. Hal ini jika dilihat dari beberapa kejadian tsunami akibat longsoran terkini maupun tsunami masa lalu yang belum terungkap penyebabnya.
“Ini merupakan pertanda bahwa wilayah perairan kita menyimpan potensi bahaya tsunami non tektonik yang cukup besar,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono melalui pesannya yang diterima di Jakarta, Senin (27/4).
Dia menyayangkan, kajian mengenai potensi longsoran dasar laut yang dikaitkan dengan risiko tsunami di Indonesia masih sangat jarang. Kajian yang ada kebanyakan kajian risiko tsunami akibat gempa tektonik.
Baca Juga:BMKG: Sepekan ke Depan, Berpotensi Curah Hujan LebatWHO Peringatkan Pandemi Masih Jauh dari Selesai, Sabar Hadapi Cobaan
Dia menjelaskan di Indonesia ada beberapa kasus tsunami masa lalu yang hingga kini belum terungkap penyebabnya. Diduga, tsunami ini berasosiasi dengan longsoran dasar laut, seperti tsunami Teluk Ambon 28 November 1708, tsunami Manggarai 14 April 1855, tsunami Bacan 10 Juni 1891.
Termasuk kejadian tsunami Saparua 20 Juni 1891, tsunami Pulau Sumber Gelap 16 Maret 1917, dan tsunami Halmahera Utara 2 April 1969. Dalam semua peristiwa tersebut, tsunami tidak didahului oleh aktivitas gempa tektonik.
Beberapa peristiwa tsunami mematikan di Indonesia, di antaranya diduga diamplifikasi oleh dampak ikutan berupa longsoran dasar laut. Misalnya, tsunami Ambon 17 Februari 1674 dengan korban jiwa 2.243 orang meninggal, tsunami Seram 30 September 1899 sebanyak 4.000 orang meninggal dan tsunami Flores 12 Desember 1992 yang menyebabkan 2.500 orang meninggal.
Peristiwa tsunami terbaru yang terjadi di Tanah Air akibat longsoran, yaitu tsunami Selat Sunda akibat longsoran Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 dan tsunami Teluk Palu akibat longsoran saat gempa Palu 28 September 2018. Kedua bencana tsunami akibat longsoran ini menelan korban jiwa dan kerugian harta benda sangat besar.
“Selain tsunami Selat Sunda dan Teluk Palu, kita juga pernah mengalami tsunami dahsyat akibat longsoran, seperti tsunami Krakatau 1883 sebanyak 36.000 orang meninggal dan tsunami Waiteba, NTT 1979 menyebabkan 539 meninggal dan 364 hilang,” katanya.
Sebelumnya artikel ilmiah berjudul Indonesian Throughflow as a preconditioning mechanism for submarine landslides in the Makassar Strait yang ditulis oleh Brackenridge dkk yang dipublikasikan oleh Geological Society of London di jurnal Lyell Collection pada awal April 2020 viral di Indonesia. Hal ini karena sekelompok ilmuwan mengungkap potensi risiko tsunami akibat longsoran dasar laut dekat wilayah yang dipilih pemerintah Indonesia sebagai calon ibu kota baru.