Faktor-faktor sentrifugal akan memunculkan dinamika fragmentasi yang, meski sangat berbahaya, akan menawarkan peluang bagi Israel yang gagal dieksploitasi pada tahun 1967.
Fouad Ajami kemudian mulai menganalisis kelemahan negara-negara Arab, dengan mengutip apa yang dia anggap sebagai kelemahan dalam struktur nasional dan sosial mereka, menyimpulkan bahwa Israel harus bertujuan untuk membawa fragmentasi dunia Arab ke dalam mosaik pengelompokan etnis dan pengakuan.
“Setiap jenis konfrontasi antar-Arab, akan terbukti menguntungkan bagi Israel dalam jangka pendek,” kata Fouad Ajami.
Baca Juga:Menanti Moshiah: Aneksasi Zionis di Tepi Barat bulan Juli, Inilah Para Pengikut DajjalWaspada: Semasa Hidupnya Tak Pernah Jalan-jalan, Seorang PDP Meninggal Dunia
Fouad Ajami melihat peristiwa-peristiwa kontemporer di Lebanon sebagai bayangan dari perkembangan masa depan secara keseluruhan di seluruh dunia Arab. Gejolak akan menciptakan “preseden” (hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh), untuk membimbing strategi jangka pendek dan jangka panjang Israel.
Secara khusus, ia menegaskan bahwa tujuan langsung kebijakan haruslah pembubaran kemampuan militer negara-negara Arab di sebelah timur Israel, sementara tujuan jangka panjang utama harus bekerja menuju pembentukan wilayah unik yang didefinisikan dalam hal identitas etnonasional dan agama.
Cetak Biru untuk Timur Tengah
- Libya Kebohongan dilakukan Zionist Israel terhadap Presiden Libya, Muamar Gaddafi. Agen Mossad Zionist Israel menanamkan pemancar radio di kompleks Presiden Libya, Muamar Gaddafi di Tripoli, Libya untuk menyiarkan transmisi palsu teroris.Seorang agen Mossad mengakui bahwa pada tahun 1984 lalu, Mossad telah melakukan operasi intelijen “Bendera Palsu” (False Flag Operation) dengan cara menanam pemancar radio di kompleks rumah Gaddaffi di Tripoli, Libya.Kemudian Mossad menyiarkan trasmisi teroris palsu yang sebelumnya telah direkam oleh Mossad melalui pemancar yang telah ditanam itu. Hal itu dilakukan untuk menuduh bahwa Gaddaffi sebagai pendukung teroris. Tak lama sesudah operasi intelijen False Flagitu, Ronald Reagan segera membom dan menyerang Libya untuk membunuh pemimpin Libya itu.
- Mesir Yinon mengira pertemuan Camp David Accords tahun 1978, yaitu perjanjian damai yang ditandatangani oleh Menachem Begin dan Anwar Sadat, adalah salah.Yinon mengklaim, salah satu tujuan Israel untuk tahun 1980-an adalah “pembongkaran Mesir”, sebuah negara yang ia gambarkan sebagai “mayat”, untuk membangun kembali “status quo ante” (keadaan sebagaimana ketika belum terjadi peperangan), ketika Israel menguasai Semenanjung Sinai. Yinon berharap dapat melihat pembentukan negara Kristen Koptik di perbatasan utara Mesir, namun tak terjadi. Yinon menyematkan harapan pada invasi cepat Israel ke Sinai yang dipicu oleh pecahnya masa depan oleh Mesir dari persyaratan perdamaian yang ditengahi Amerika, sesuatu yang, di bawah Hosni Mubarak, gagal terwujud.
- Jordania dan Palestina Tepi Barat (West Bank) Dalam laporannya tentang kebijakan luar negeri Rusia dan orang-orang Arab, seorang politisi dan diplomat Rusia yang menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia dari tahun 1998 hingga 1999, Yevgeny Primakov, mengontekstualisasikan makalah Yinon sehubungan dengan isi dari apa yang mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, George Ball, nyatakan dalam kesaksian di bulan Agustus sebelum pertemuan Komite Urusan Luar Negeri Senat AS. George Ball, yang membahas invasi Israel kedua ke Lebanon, sebelumnya pada Juni, merujuk pada percakapan dengan Ariel Sharon, di mana Sharon dilaporkan menyatakan bahwa strategi jangka panjangnya terdiri dari “menekan orang-orang Palestina keluar dari Tepi Barat.. memungkinkan hanya secukupnya saja dari mereka untuk tetap bekerja.” Makalah Yinon menyarankan bahwa kebijakan Israel, baik dalam perang dan perdamaian, harus bertujuan untuk satu tujuan: ‘likuidasi Jordan’ sebagaimana diperintah oleh Kerajaan Hashemite, bersama dengan peningkatan migrasi Palestina dari Tepi Barat ke Yordania timur. Pembubaran Jordania, pikir Yinon, akan mengakhiri masalah keberadaan konsentrasi padat warga Palestina di wilayah Palestina yang ditaklukkan Israel dalam Perang Enam Hari (the Six-Day War) pada tahun 1967, yang memungkinkan mereka dihanyutkan ke wilayah bekas kerajaan itu. Tak peduli dengan HAM yang digadangkan para corongnya di dunia, sekawanan tentara paling pengecut sejagat, tentara Israel, tampak menggelandang hanya seorang bocah Palestina yang sufah berdarah, diikat tangannya dan sudah ditutup matanya.
- Libanon Makalah Yinon seakan “memberi makan” konspirasi lama Lebanon terhadap integritas teritorialnya sejak tahun 1943, yang menurutnya negara tersebut akan dikantonisasi menurut garis etno-nasionalis. Khususnya selama tahun 1970-an. Gagasan itu mengambil “sayap” dan, terutama setelah perang saudara pecah di Lebanon pada tahun 1975, kemudian dikaitkan dengan sosok Henry Kissinger yang diplomasi Timur Tengahnya dianggap sangat merugikan kepentingan Lebanon, dan yang dikabarkan merencanakan pembagian Lebanon menjadi dua negara.
- Irak Yinon menganggap Irak, dengan kekayaan minyaknya, sebagai ancaman terbesar Israel. Dia percaya bahwa Perang Iran-Irak akan memecah Irak, yang pembubarannya harus menjadi tujuan strategis Israel. Dia juga membayangkan munculnya tiga pusat etnis, Syiah yang memerintah dari Basra, dan Sunni dari Baghdad, serta Kurdi dengan ibukota di Mosul, masing-masing daerah berjalan di sepanjang garis divisi administrasi bekas Kekaisaran Ottoman.
- Syiria (Suriah) Syiria diadu domba lagi-lagi berdasarkan salah satu kartu As terbaik pro-Zionist, yaitu: Konflik Sunni-Syiah. Peperangan sipil antar saudara setanah air ini kemudian disusupi oleh para intelijen Israel dan AS yang menghasut dan kemudian melatih para oposisi untuk menjadi tentara perlawanan. Mereka dilatih untuk menjatuhkan presiden Syiria Bashar al-Ashad, untuk melanjutkan misi rahasia The Arab Spring seperti yang pernah dilakukan mereka terhadap Muhammad Mursi (Mesir), Saddam Hussein (Irak), Muammar Qaddafi (Libya) dan presiden-presiden lainnya di Timur Tengah dengan berbagai alasan. Namun hal itu tak didiamkan oleh Syiria, dengan bantuan Russia dan sekutunya, mereka memberikan perlawanan atas nama pemerintahan yang syah. Russia mementingkan Syiria karena sekutunya itu memiliki wilayah hingga ke Laut Medditerania dimana Russia memerlukan pangkalannya armada baratnya disana guna menghadapi ancaman dari NATO, Israel dan AS. Namun banyak pihak ketiga lainnya kemudian ikut campur, selain Israel, AS dan Russia, seperti Turki, Kurdi, Iran, RRC, Inggris, Perancis dan lainnya. Sejauh ini yang diincar pro NATO, AS dan Zionis Israel, namun yang belum jatuh dari kekuasaan adalah pemimpin Syiria dan Iran. Jika dilihat dari sebagian besar konflik Arab Spring diatas, terlihat Israel ingin menguasai Jazirah Arab berdasarkan Misi Besar mereka untuk mewujudkan negara Israel Raya atau The Greater Israel. yang harus menguasai wilayah dari Sungai Nil di Mesir, hingga Sungai Eufrat di Irak.