Setelah aksi itu, agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan Mahasiswa dikooptasi, para aktivis bersuara keras dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Mereka kemudian mendirikan Balai Budaya yang terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru.
Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi aktor utama dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itu. Juga dalam gerakan Golongan Putih (Golput) yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971, Arief ada di garis terdepan.
Ketika ada perhelatan sepakbola nasional di Stadion Utama Senayan (sekarang Stadion Gelora Bung Karno) yang dihadiri puluhan ribu orang, para aktivis Golput membentangkan spanduk raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru berang. Lewat Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto yakni Ali Moertopo, disebutlah Golput sebagai gerakan yang tak ada artinya.
“Golput itu kentut,” ujar Ali kepada media.
Baca Juga:Najwa Shihab Jelaskan Duduk Perkara Soal Pulang Kampung vs Mudik JokowiSimak Pengertian Mudik dan Pulang Kampung Beda Menurut KBBI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Apa yang menyebabkan Arief menjadi begitu keras? Padahal menurut sejumlah kawan-kawannya, di era sebelum Soeharto berkuasa penuh, Arief lebih cenderung santai dan berlaku layaknya seorang akademisi tulen?
Rudy Badil memiliki sebuah cerita. Ketika sang adik Soe Hok Gie meninggal karena kecelakaan di Puncak Mahameru, Arief terlihat sangat bersedih. Kendati kesedihan itu diperlihatkannya secara wajar, namun saat dia menjemput jenazah Soe Hok Gie di Malang, orang tahu dari wajahnya dia terlihat sangat kehilangan.
“Dia terus mendampingi jenazah Hok Gie, seolah enggan meninggalkannya,” kenang Rudy.
Bisa jadi selama dalam proses penjemputan jenazah Soe Hok Gie itulah, Arief banyak merenungi hubungan pribadi antara dirinya dengan Soe Hok Gie, sejak mereka kecil hingga dewasa. Dalam kata pengantar untuk buku Catatan Seorang Demonstran, Arief pun menulis agak sentimentil tentang adiknya itu. Dia mengisahkan perasaannya saat duduk termenung di samping peti mati jenazah Soe Hok Gie, beberapa menit menjelang akan terbang dengan sebuah pesawat angkut milik Angkatan Udara RI ke Jakarta.