“Tapi kepada Anda, nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis, dulu tidak, sekarang pun tidak.”
“Tidak ada yang lebih saya inginkan daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” imbuh Sosrokartono.
Ki Hajar Dewantara kemudian menawari Sosrokartono untuk mengajar di Taman Siswa. Namun, hanya beberapa tahun saja ia menjalankan pengabdiannya itu. Hidupnya semakin dipersulit oleh jejaring kolonial dan ia tidak ingin orang-orang yang tidak bersalah ikut terkena getahnya.
Baca Juga:43 Santri Ponpes Temboro asal Malaysia Kena Corona, Ini Reaksi Bupati MagetanMisteri Letusan Gunung Salaka
Hidup Sosrokartono kian runyam karena berurusan dengan Snouck Hurgronje. Ia disebut-sebut terlibat utang besar kepada petinggi pemerintah kolonial yang menjadi otak penaklukan Aceh itu. Pengaruh Hurgronje amat kuat yang membuat Sosrokartono nyaris tidak mampu berbuat apa-apa.
Tekanan batin yang datang bertubi-tubi membuat Sosrokartono jatuh sakit hingga mengalami kelumpuhan sejak 1942, tepat ketika penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh Jepang.
Dalam kondisi tak berdaya, sang pangeran melewatkan peristiwa demi peristiwa penting yang terjadi di tanah airnya. Namun, dikutip dari buku Wajah Bandung Tempo Doeloe (1984) karya Haryoto Kunto, Sosrokartono pernah dikunjungi utusan Sukarno untuk menanyakan tentang peluang Indonesia merdeka.
Kepada utusan Sukarno itu, Sosrokartono mengatakan bahwa Indonesia pasti merdeka, dan itulah yang kemudian terjadi. Sosrokartono kemudian dipercaya sebagai ahli ilmu kebatinan dan spiritual, orang yang mampu mengetahui sesuatu sebelum diberitahu.
Namun, kondisi kesehatan Sosrokartono tidak berangsur membaik. Pada 8 Februari 1952, tepat hari ini 67 tahun silam, sang jenius Raden Mas Panji Sosrokartono wafat pada usia 74 setelah berjuang sekuat tenaga dalam kelumpuhan dan kepayahan. (*)