Pada Januari 1753, Ibrahim memberitahukan kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel (menjabat 1750-1761) di Batavia bahwa dia siap untuk menengahi Kumpeni dan Mangkubumi. Dari permulaan jelaslah bahwa Ibrahim tidak ingin berunding dengan Mangkunagara. Ibrahim mengklaim bahwa dia membawa surat otoritas dari tokoh-tokoh pembesar untuk menyelesaikan perang di Jawa. Yang agak mengejutkan, dia menolak untuk dibayar untuk jasanya. Menurut versi di Babad Giyanti, dia bilang kepada Belanda, “Kalau saya dapat menghentikan konflik antara orang, ganjaran saya di hadapan Tuhan sudah besar” (yen amurungkaken wong tukaran, pan wus gedhe ganjaran, mu[n]gguh Hyang Mahaluhur).
Pada Februari 1753, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia berkeputusan untuk mengirim Ibrahim ke Semarang, tempat kantor utama VOC di pasisir Jawa. Pada waktu itu, J.A. van Hohendorff menjabat sebagai Gubernur Kumpeni di pesisir timur laut Jawa yang pertama (1748-54). Van Hohendorff, yang sangat dibenci oleh Mangkubumi, menulis kepada Batavia bahwa dia meragukan “Imam Turki itu yang baru dikirim ke sini oleh Tuan-Tuan” bisa membuat banyak berdasarkan otoritas spiritualnya. Akan tetapi, dia akan mematuhi perintah Batavia.
Tidak ada informasi lebih lanjut dari pihak Belanda sebelum Oktober 1753. Pada waktu itu –sesudah kekalahan besar yang dialami oleh Mangkubumi di Kasatriyan pada bulan Agustus– Mangkubumi menulis kepada Kumpeni bahwa dia menaruh kepercayaan penuh kepada Ibrahim, yang dipanggilnya “Bapa Sarif Besar”. Mangkubumi juga mengeritik Van Hohendorff dan menuding bahwa sosok Belanda itu menghalangi pertemuan langsung antara Mangkubumi dan Ibrahim.
Baca Juga:Virolog drh. Moh. Indro Cahyono: Jangan Panik dengan Virus CoronaMisteri Planet Kembaran Bumi
Van Hohendorff berkali-kali menolak permintaan kepada Ibrahim untuk kembali ke Batavia. Baru pada awal tahun 1754 akhirnya dia mengizinkan kunjungan itu. Ibrahim membawa surat-surat dan beberapa hadiah dari Mangkubumi untuk Gubernur Jenderal Mossel –empat kuda bagus dan sebuah keris disepuh emas. Administrasi Kumpeni begitu kacau sehingga tak seorang pun yang bisa membaca surat-surat itu dalam bahasa Jawa. Sehingga Ibrahim harus menyampaikan pandangan Mangkubumi secara lisan (mungkin sekali menggunakan bahasa Melayu atau Portugis, dua lingua franca pada waktu itu).