Lalu Sultan Rum mengirim dua ekspedisi ke pulau Jawa. Kedua-duanya dirusakkan dan dipukul mundur oleh kekuatan-kekuatan supranatural Jawa. Sesudah itu, Sultan Rum mengumpulkan para penasihat agama yang berdoa supaya menerima sebuah azimat. Azimat itu diterima dan ditanam di beberapa tempat di Jawa dan Bali. Suara Tuhan didengarkan: semua roh disuruh untuk bertaat kepada Nabi Muhammad, Raja se-Jawa dan Ratu Kidul (dewi laut selatan). Sesudah itu, ekspedisi ketiga dari Rum berhasil mendarat dan Jawa menjadi penuh dengan penduduk. Aji Saka menjadi raja Jawa, tapi hanya selama tiga tahun.
Ketika Syeh Ibrahim –seorang dari Turki, yaitu dari tanah Rum– mendarat di pulau Jawa pada bulan Januari 1753, tentu saja orang Belanda sama sekali tidak menyana ada latar belakang budaya yang semacam ini yang mewarnai persepsi Jawa mengenai sosok itu. Oleh karena Ibrahim dipanggil Syeh (Syekh) dan juga sayyid dan sharif, dia juga diikuti oleh otoritas yang terletak kepada seorang keturunan Nabi.
Bersama dengan sumber-sumber Kumpeni, kita juga mempunyai informasi dari sumber Jawa, terutama dari Babad Giyanti, mahakarya yang ditulis pada paruh kedua abad ke-XVIII. Informasi itu barangkali diberitahukan oleh Syeh Ibrahim sendiri kepada pihak Jawa –tapi versi di dalam Babad Giyanti itu pasti dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi Jawa mengenai Sultan Rum.
Baca Juga:Virolog drh. Moh. Indro Cahyono: Jangan Panik dengan Virus CoronaMisteri Planet Kembaran Bumi
Menurut babad itu, Ibrahim adalah seorang saudagar Turki yang kapalnya kandas di Teluk Batavia. Dia membawa dua pucuk surat yang memberikan semacam otoritas kepadanya, yang dicap oleh orang-orang bernama Sultan Muamat Likan Rum ingadli ratu dan Sultan Mustapa Rumi. Sebetulnya Sultan-Sultan Usmani pada abad ke-XVIII dengan nama atau gelar itu tidak ada. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa Sultan Muamat Likan, Rum ingadli ratu berasal dari gelar Sultan-i ‘adl: jadi, mungkin berarti Sultan di Rum yang seorang ratu adil.
Nama Muhammad Likan masih tidak jelas, tapi mungkin berasal dari seorang gubernur besar (pasha) yang pakai gelar qul-i khan (abdinya kaisar), yang menjadi likan dalam versi Jawa. Mengenai Sultan Mustapa Rumi, mungkin nama itu berasal dari Perdana Menteri Usmani (Grand Vizier, 1752–55) Çorlulu Köse Bahir Mustafa Pasha. Jadi, bukan Sultan sendiri melainkan abdi tertinggi Sultan di dalam kekaisaran Usmani yang bernama Mustafa –yang dimengerti oleh orang Jawa sebagai Sultan Rum dan bisa disebutkan dalam Bahasa Jawa sebagai Mustapa Rumi. Ini semuanya spekulatif, akan tetapi mungkin Ibrahim memang membawa semacam otoritas untuk memasukkan diri dalam perang di Jawa demi mencari penyelesaian dan perdamaian, atas nama tokoh-tokoh Usmani yang besar. Paling sedikit, Mangkubumi menganggap dia sebagai orang penting dari dunia Islam di luar Jawa.