Riset terbaru Christopher J. Harpel, peneliti dari Earth Observatory of Singapore, yang dilakukan tahun 2015, mengakui bahwa Gunung Salak memang pernah beberapa kali meletus, tapi bukan pada 1699. Erupsi terjadi pada 1688, 1761, 1780, 1902, 1903, 1919, 1923, 1929, 1935, 1936, dan terakhir 1938.
Menurut Harpel, kandungan batu apung dalam deposit aliran guguran puing di Gunung Salak tahun 1699 terlalu sedikit. Ini menyiratkan, dikutip dari Bachtiar, bahwa tidak pernah terjadi letusan yang berbarengan dengan guguran puing.
Jauh sebelumnya, Verbeek dan Fennema dalam laporan bertajuk “De Salak” (1896) dengan lebih tegas menyatakan: “Letusan Gunung Salak pada tahun 1699 tidak terjadi sehingga harus dicoret dari daftar gejala letusan gunung api.”
Baca Juga:Belanda Lockdown, Warga Malah Sibuk Antre GanjaAcungkan 2 Jari, Yasonna Laoly Bersumpah Tak Mengenal Harun Masiku
Lantas, mana yang benar? Apakah Gunung Salak benar-benar erupsi atau tidak pada 1699 itu? Hal ini masih menjadi perdebatan, bahkan terus diteliti meskipun sudah berlalu beratus-ratus tahun silam.
Terkadang, bisa saja terjadi gejala atau peristiwa mirip letusan seperti pada 1699 atau 2018 lalu. Yang jelas, kewaspadaan dan pemantauan harus selalu dilakukan karena sampai saat ini Gunung Salak masih tercatat sebagai gunung api aktif meskipun terakhir diketahui erupsi sudah cukup lama. (*)