Apakah Gunung Salak benar-benar telah meletus pada 1699 itu? Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor (1983) menuliskan bahwa Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat (hlm. 84).
Namun, catatan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak menyebut Gunung Salak mengalami erupsi. Laporan J.A. van der Chijs dalam Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 (1886) menuliskan bahwa yang terjadi adalah gempa bumi, bukan letusan gunung.
Van der Chijs mencatat: “Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane, di belakang bekas keraton raja-raja yang disebut Pakuan, yang semula berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi, berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, sama sekali tidak ada pepohonan.”
Baca Juga:Belanda Lockdown, Warga Malah Sibuk Antre GanjaAcungkan 2 Jari, Yasonna Laoly Bersumpah Tak Mengenal Harun Masiku
Lereng Gunung Salak memang pernah menjadi lokasi pembangunan istana Kerajaan Pakuan atau Pajajaran. Mitosnya, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ( 1482-1521) moksa di area gunung ini untuk menghindari kejaran pasukan yang dipimpin putranya, Raden Kian Santang.
Gunung Salak konon juga menjadi asal-muasal peradaban orang Sunda. Di lereng gunung ini, pada abad ke-2 Masehi pernah berdiri Kerajaan Salakanagara yang diyakini sebagai kerajaan Sunda tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Nama Gunung Salak disebut-sebut berasal dari kata Salakanagara.
Untuk menyelidiki apa yang terjadi di Gunung Salak pada 1699, otoritas Belanda di Batavia mengirimkan tim khusus yang dipimpin Ram dan Coops. Ekspedisi ini, sebut Frederik de Haan dalam Priangan, de Preanger-regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811 (1911) dilakukan pada 1701.
Ram dan Coops melaporkan, tidak terdapat laporan serius tentang nasib penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung. Jika benar Gunung Salak meletus dan mengalirkan lahar dingin dalam jumlah besar, tentunya akan mengakibatkan kerusakan parah terhadap desa-desa di sekitar sungai itu, juga berpotensi menelan korban jiwa.
Apabila memang terjadi terjangan lahar dingin, tulis Danasasmita (1983), diperkirakan banjir bebatuan itu ambles ke dalam tanah yang terbelah di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane, yang kemudian menyebabkan Batavia dilanda banjir.
T. Bachtiar dalam artikel “Guguran Puing dari Gunung Salak” (Pikiran Rakyat, 2018) cenderung meyakini bahwa apa yang terjadi pada 1699 itu bukan letusan, melainkan debris avalanche atau guguran puing. Puing-puing di lereng gunung longsor dan berguguran akibat diguncang gempa bumi kemudian membentuk lembah besar dan dalam, sebagaimana laporan van der Chijs.