Ekonomi Indonesia selama Maret 2020 sangat mengkhawatirkan sekali. Rupiah anjlok 15 persen (mtm) karena investor distrust kepada Indonesia, Yield SBN 10 tahun jatuh 4 basis poin ke level 8,16 persen dan defisit transaksi berjalan melebar ke level 2,88 persen PDB. Situasi tersebut sangat merugikan ekonomi Indonesia.
Dalam bingkai kebijakan publik, alasan untuk memperbaiki situasi ekonomi Maret 2020 tersebut melalui kerjasama repo BI-FED 60 miliar dolar AS dan penerbitkan global bond 4,3 miliar dolar AS adalah tindakan berani dan beralasan meskipun dilihat dari sisi cost of fund, kerjasama tersebut terbilang mahal.
Bila otoritas cukup pintar, maka seharusnya mencari pembiayaan global bond berdenominasi dalam euro karena yield bond-nya lebih rendah di level 1,9 hingga 3,0 persen daripada yield berdenominasi dolar AS di level 3,9 hingga 4,5 persen dengan tenor yang kurang lebih sama.
Baca Juga:Dian Sastrowardoyo Duet Virtual dengan Yura Yunita Trending TwitterKepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon: Jaksa Menyapa Inovasi Sadar Hukum
Jumlah selisih yield tersebut sangat signifikan bila nilai tukar rupiah anjlok seperti Maret 2020 sebesar 15 persen. Selisihnya pembayaran menggunakan euro dapat lebih murah 30 persen hingga 93 persen daripada menggunakan dolar AS. Bila rupiah anjloknya lebih dari 50 persen, maka Indonesia membayar kupon global bond double (2x) lebih mahal dengan dolar AS daripada dengan euro.
Meski demikian, bila Kemenkeu menerbitkannya dalam euro, bisa jadi Bank Indonesia tidak dapat privillege untuk melakukan kerjasama repo 60 miliar dolar AS dengan Federal Reserve (FED), Bank sentral AS.
Tidak banyak negara berkembang yang mendapatkan fasilitas dari FED. Biar bagaimanapun mendapatkan fasilitas dengan FED adalah keuntungan besar bagi reputasi rupiah di masa depan karena secara de facto, FED tidak pernah memiliki kesulitan likuditas dolarnya. Patut diingat FED adalah satu-satunya bank sentral yang memiliki kewenangan mencetak mata uang dolar AS sebagai mata uang yang paling dicari pasar dunia.
Memiliki kerjasama dengan FED seolah-olah rupiah dibackup oleh otoritas keuangan AS, sehingga rupiah akan stabil di masa depan. Sebuah strategi yang brilian sekaligus menunjukan kedekatan ekonomi Indonesia yang lebih intim dengan ekonomi Amerika. Achmad Nur HidayatPengamat kebijakan publik