Gelombang pertama dimulai di India pada 1817, lalu menyebar ke Tiongkok, Jepang dan sebagian Asia Tenggara, ke Madagascar dan Afrika Timur dan berakhir di Anatolia dan Kaukus pada 1823. Gelombang terakhirnya berlangsung pada 1861 sampai 1975 yang dengan serius menimpa Asia, termasuk Indonesia. Seluruh gelombang membuat semua benua di dunia pernah tertimpa kolera.
Besarnya dampak penyakit yang dari penelitian Ilmuwan Italia Filippo Pacini diketahui disebabkan bakteri Vibrio Cholerae ini, membuat peraih Nobel Sastra asal Kolombia Gabriel Garcia Marquez mengabadikannya sebagai judul novelnya: Love in The Time of Cholera.
Masa kolera yang panjang menciptakan dampak politik di beberapa tempat dan kejadian. Perang Franco-Prussian adalah salah satu yang terdampak kolera. Pada 1871 pandemi ini telah sampai di Eropa, tempat perang berlangsung. Akibatnya adalah demobilisasi pasukan di pihak Perancis karena banyak terserang kolera yang sekaligus mengakhiri perang ini.
Baca Juga:Daniela Trezzi, Perawat yang Pilih Bunuh Diri Karena Terinfeksi Virus CoronaUPDATE: Total 893 kasus, Pasien Corona Meninggal Dunia Bertambah Signifikan 78 dan 35 orang sembuh
Perancis memang mendapat dampak serius dari pandemi kolera selama puluhan tahun. Lebih kurang 40 tahun sebelumnya, Richard J. Evans mencatat pandemi ini menyebabkan revolusi Paris pada 1832. Saat itu Paris adalah kota yang kotor dan membuat kolera mudah tersebar. 20 ribu orang meninggal akibat Kolera di Paris.
Cepatnya orang meninggal membuat masyarakat Paris was-was dan terpancing kasak-kusuk bahwa pengidap kolera yang dirawat sengaja dibunuh. Sassus tersebut berubah menjadi gerakan perlawanan setelah anggota parlemen yang terkenal kritis, Jean Maximilien Lamarque meninggal akibat kolera.
Kelompok Société des droits de l’homme pun menghimpun massa hingga akhirnya pecah revolusi. Ribuan orang menduduki distrik-distrik di Perancis dan menciptakan pergolakan dengan Garda Nasional selama beberapa jam. Hasilnya, 160 orang di kedua kubu meninggal. Namun pemberontakan gagal. (*)