“Badan intelijen memetakan fokus wabah baru-baru ini, yang disebut ‘kampung kolera’, di tepi sungai Ciliwung dan sungai Krukut, tempat tinggal kuli miskin dan Tionghoa miskin,” tulis Bek.
Pada 1911-1912 dinas intelijen beroperasi penuh di bawah naungan Dinas Medis Sipil yang baru didirikan, yang bertugas memantau kesehatan masyarakat dan bertujuan mengendalikan penyakit-penyakit umum dan infeksi.
Meski tak ada studi ekstensif mengenai dinas intelijen ini yang diterbitkan jurnal medis Hindia Belanda, para kontributor jurnal memuji didirikannya dinas ini. Mereka mengklaim bahwa dinas intelijen sangat penting dalam pengendalian kolera di Batavia.
Baca Juga:Lindungi Siswa dari Corona UN Ditiadakan, Nilai Rapor Masuk Opsi Pengganti Standar LulusStatus Normal Mulai Buka Akses Bagi Pendatang, Ada yang Berani Wisata ke Wuhan?
Angka-angka dari dinas intelijen kemudian juga digunakan oleh P.C. Flu (1884-1945), asisten direktur Laboratorium Medis di Batavia, dalam sebuah studi menyeluruh tentang kolera di Batavia, pada 1915. Dari studi tersebut, P.C. Flu mempresentasikan temuannya tentang pengaruh hujan terhadap epidemi kolera di Batavia dalam angka dan tabel. Ia menyimpulkan bahwa, seperti yang sudah diduga, hujan memiliki efek menguntungkan pada jumlah kasus kolera.
Kemudian ketika mempelajari angka-angka dari dinas intelijen, ia juga menemukan bahwa di musim hujan dan masa di antara dua epidemi kolera, kolera tidak pernah benar-benar hilang. Kolera tetap bertahan namun dalam bentuk yang ringan.
“Ini adalah penemuan penting, yang akan digunakan oleh dinas intelijen yang baru didirikan. Selain itu, penemuan ini juga disajikan dalam GTNI (jurnal medis Hindia Belanda) sebagai argumen untuk vaksinasi massal di Hindia Belanda, yang diperkenalkan di koloni sekitar waktu yang sama,” sebut Bek.
Meski demikian, wabah kolera di Batavia nyatanya masih merebak tiap tahun hingga 1920. Hal ini berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan penduduk Batavia yang rendah. (*)