SEMUA tahu: belum ada obat untuk Covid-19. Tapi apakah pasien tidak perlu diobati?
Para dokter pasti berada dalam dilema yang luar biasa. Lalu harus membuat keputusan. Dokter tidak boleh terus menerus dalam keraguan.
Saat akhirnya membuat keputusan dokter sudah memikirkannya berdasar keahliannya. Bukan berdasar perintah atau instruksi atau tekanan.
Baca Juga:Inilah Buku Pedoman Penangkal Virus CoronaKisah Maudy Ayunda Isolasi Diri di Amerika Serikat
Itulah sebabnya pekerjaan dokter disebut ‘profesi’. Bukan pekerjaan biasa. Mereka harus punya ilmu di bidang itu dan harus punya otonomi untuk membuat keputusan.
Sampailah dokter pada putusan: harus diberi obat apakah pasien ini. Padahal obat untuk Covid-19 belum ada.
Mungkin juga dokter sudah tahu ada obat yang lebih baik dari itu. Apalagi di zaman internet ini. Dokter-dokter muda langsung tahu perkembangan terbaru di dunia luar.
Tapi apakah obat yang lebih baik itu sudah ada di Indonesia?
Maka saya bisa memaklumi dokter akan memberi obat apa pun yang menurut mereka terbaik di antara yang tersedia.
Saya pun mendapat info penting ini: di sebuah rumah sakit di Jakarta pasien Covid-19 diberi obat Oseltamivir 2x 75 mg. Ditambah vitamin C. Juga Azithromycin 2×500 mg atau Levofloxacin 1×750 mg.
Bagi pasien yang sudah agak berat ditambah Chloroquine sulphate 2x 500 mg.
Baca Juga:Tiru California, New York Lockdown Tekan Sebaran CoronaAtasi Virus Corona, Hercules C-130 TNI AU Angkut 9 Ton Alat Medis Bantuan asal Tiongkok
Lalu ditambah lagi obat lain berdasar penyakit lain yang ditemukan di pasien Covid-19.
Misalnya ditambah Hepatoprotektor bagi pasien yang punya masalah liver. Misalnya SGPT/SGOT-nya tinggi.
Mungkin dokter di rumah sakit lain berbuat lain lagi. Atau sama. Sesuai dengan keilmuan dan otonomi mereka.
Yang lebih pusing adalah presiden –terlihat dari sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia harus membuat keputusan tapi tidak punya ilmunya.
Dan keputusan itu harus bisa sekalian mendongkrak popularitasnya. Presiden harus terlihat jagoan di situasi krisis seperti ini.
Maka Trump mendeklarasikan diri sebagai ‘Presiden di masa Perang’. Dan ia harus memberi semangat rakyatnya untuk optimistis.
Lalu harus pula bisa menutup kesan bahwa ia sangat telat dalam menangani krisis Covid-19 ini.
Untuk menutup kelemahan itu ia carilah kambing hitam. Sekaligus banyak: Gubernur New York, Partai Demokrat, dan Tiongkok.