Dokter sedang mengujinya pada pasien COVID-19. Mereka berteori, jika klorokuin bermanfaat, maka hidroksiklorokuin mungkin juga dan hasil laboratorium baru-baru ini tampaknya mendukung teori ini.
Sekitar tujuh uji klinis telah dimulai di Cina untuk menguji obat ini pada pasien dengan COVID-19. Peneliti dari Universitas Minnesota juga melakukan pengujian pada minggu ini.
“Setelah 90 hari kita akan memiliki beberapa indikasi apakah ini efektif atau tidak dan seberapa efektif itu bisa terjadi,” kata Dr. Jakub Tolar, dekan Fakultas Kedokteran Universitas Minnesota.
Baca Juga:Misteri Penyebab Meninggalnya 2 Dokter Saat Jalani Rawat Intensif di 2 Rumah Sakit JakartaTangani Pasien Terpapar Virus Corona, 3 Dokter Meninggal Dunia
Hasil laboratorium awal di Cina menunjukkan hidroksiklorokuin menghambat infeksi SARS-COV-2. Obat ini diklaim aman untuk digunakan pada manusia.
Kaletra
Obat ini kombinasi dua obat antivirus yakni lopinavir dan ritonavir yang digunakan melawan HIV. Lopinavir mencegah enzim virus memotong protein penting yang merupakan kunci untuk reproduksi HIV. Sementara ritonavir membantu meningkatkan konsentrasi lopinavir dalam sel.
Para ilmuwan bertanya-tanya apakah keduanya dapat mengganggu siklus hidup SARS-COV-2 dengan cara yang sama.
Tetapi sebuah penelitian dalam New England Journal of Medicine melaporkan, obat ini tidak bermanfaat bagi pasien dengan COVID-19 yang parah.
Perlu ada studi lanjutan untuk memberikan wawasan lebih luas.
Remdesivir
Obat ini dikembangkan Gilead Sciences untuk melawan Ebola tetapi tak terbukti efektif. Namun, remdesivir terbukti memiliki beberapa efek terhadap MERS dan SARS dalam lini sel dan pengujian hewan terbatas.
Mengingat penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh virus corona, peneliti berpendapat mungkin juga memiliki beberapa efek terhadap penyebab COVID-19.
Bagaimana persisnya remdesivir bekerja belum jelas, meskipun sebuah penelitian baru menunjukkan tampaknya menghambat replikasi RNA selama siklus reproduksi virus corona.
Baca Juga:Wabah Virus Corona Tak Terkendali, Batuk Jadi Ancaman Paling BerbahayaObat Covid
Remdesivir diberikan kepada pasien COVID-19 pertama di Amerika Serikat setelah kondisinya memburuk. Dia mulai pulih pada hari berikutnya, menurut sebuah studi kasus dalam New England Journal of Medicine.
Namun, apakah obat itu benar-benar bertanggung jawab atas perbaikan itu masih belum diketahui.
“Meskipun remdesivir telah diberikan kepada beberapa pasien dengan COVID-19, kami tidak memiliki data yang kuat untuk menunjukkan obat ini bisa meningkatkan hasil klinis,” ujar direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), Dr. Anthony S. Fauci.