JAKARTA-Ketidakpastian ekonomi kian hari kian jadi. Belum juga reda efek perang dagang AS dan China, kini ekonomi global, tak terkecuali Indonesia dibayangi kekhawatiran pandemi virus corona dan ‘perang minyak’ antara Arab Saudi dan Rusia.
Harga minyak anjlok, bahkan sempat menyentuh level terdalamnya lebih dari 25 persen, penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk pada 1991 silam.
Di dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melorot 6,58 persen ke level 5.136 pada perdagangan awal pekan ini. Penurunan terus berlanjut hingga saat ini. Sejak awal tahun, boleh dibilang pergerakan bursa saham domestik terseok-seok.
Baca Juga:Dampak Corona, Tingkat Hunian Hotel di Cianjur Menurun hingga 35-40 persenPersiapan Syuting Film ‘Elvis Presley’, Tom Hanks dan Istri Positif Idap Virus Corona
RTI Infokom mencatat IHSG sudah amblas 18,18 persen sejak awal tahun hingga saat ini. Hal ini dipicu kekhawatiran bursa saham terhadap pandemi virus corona.
Indikator lain, yakni nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda melemah 3,39 persen terhadap dolar AS sejak awal tahun. Saat ini, rupiah dihargai di posisi Rp14.353 per dolar AS.
Di sektor riil, sejumlah perusahaan pun telah mengambil langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan memaksa karyawan mereka untuk cuti tanpa dibayar. Misalnya, di Bali dan Bintan. Perusahaan beralasan, bisnis pariwisata lesu kehilangan wisatawan.
Pakar ekonomi Rizal Ramli memprediksi wabah virus corona (Covid-19) yang mengguncang dunia bisa memicu krisis ekonomi di Indonesia, jika tak segera reda beberapa bulan ke depan. Perkiraan krisis menguat jika melihat skandal besar di tubuh Jiwasraya dan Asabri. Belum faktor-faktor lainnya yang satu sama lain berkaitan.
Rizal menuturkan, saat ini pertumbuhan kredit di negeri ini berkutat di angka empat persen, merosot dari tahun lalu 6,02 persen. Semestinya, katanya, pertumbuhan kredit bisa bertengger di angka 15-18 persen. “Ini sekarang sepertiganya saja. Dengan adanya corona, bisa minus sampai satu persen,” katanya di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu, 8 Maret 2020.
Faktor lainnya yang bisa memicu krisis ekonomi ialah apa yang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu sebut ‘lima gelembung’. “Pertama, gelembung makro ekonomi. Semua indikator makro merosot lebih jelek dibanding lima hingga 10 tahun yang lalu. Defisit perdagangan, transaksi berjalan, primary balance dari anggaran, tax ratio dan sebagainya,” ujarnya.