TIONGKOK- Sebuah dokumen yang baru bocor mengonfirmasi bagaimana Cina memenjarakan minoritas Muslim Uighur hanya karena mereka melakukan praktik keagamaan seperti salat, mengaji atau memelihara jenggot.
Sejak 2016, pemerintah Cina telah menangkap orang-orang Uighur dan memenjarakan mereka di tempat yang secara resmi disebut Pusat Pelatihan Pendidikan Kejuruan.
Menurut perkiraan, setidaknya 1 juta dari sekitar 10 juta warga Uighur yang tinggal di Xinjiang telah menghilang. Mereka diduga dimasukan ke dalam jaringan penjara dan kamp yang dibangun oleh otoritas Tiongkok.
Baca Juga:Banjir Landa Calon Ibu Kota BaruNapi Teroris Anggota Kelompok MIT Santoso Bebas
Sebelumnya, otoritas Cina mengklaim memenjarakan Muslim Uighur karena ada perilaku ekstrimis. Pihak Cina telah membolehkan LSM dan Wartawan untuk masuk ke Xinjiang dan melakukan pengecekan.
Namun sebuah dokumen baru yang diperoleh oleh DW dan mitra media Jerman NDR, WDR, dan Süddeutsche Zeitung memberi penjelasan berbeda seperti apa yang dikatakan otoritas Cina. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa Tiongkok memenjarakan warga Uighur karena mereka melakukan praktik keagamaan, dan bukan karena perilaku ekstrimis.
Dokumen yang bocor itu sepanjang 137 halaman, dan dengan cermat mencantumkan nama dan nomor ID dari 311 warga Uighur yang ditahan pada tahun 2017 dan 2018. Kasus mereka termasuk rincian anggota keluarga, tetangga, dan teman tahanan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Daftar tahanan menyebutkan lebih dari 1.800 orang dengan nama lengkap, ID dan informasi tentang perilaku sosial – misalnya jika seseorang shalat di rumah atau membaca Quran, atau bahkan menonton ceramah agama melalui internet.
Meskipun hanya mewakili sebagian kecil dari Xinjiang, dokumen itu mengungkapkan jumlah data otoritas yang telah dikumpulkan oleh Uighur sangat mengejutkan. Setiap langkah mereka di Xinjiang dipantau oleh kamera keamanan dengan perangkat lunak pengenal wajah dan aplikasi smartphone wajib.
Laporan dari wilayah tersebut menunjukkan bahwa beberapa tahanan ditahan tanpa batas waktu, sementara yang lain dipindahkan ke kamp kerja paksa. Mereka yang diizinkan untuk pulang ke rumah dijaga di bawah pengawasan ketat otoritas lokal dengan kebebasan bergerak terbatas.
Abduweli Ayup, seorang akademisi Uighur berpendidikan Amerika yang tinggal di Norwegia, memberikan dokumen tersebut kepada DW. Ayup menghabiskan 15 bulan di penjara Tiongkok setelah ia mencoba membuka sekolah bahasa Uighur di Xinjiang.