E-sport masuk
sekolah sudah lama digaungkan. Namun implementasinya sulit bukan main,
sekalipun sekadar ekstrakurikuler. Perubahan persepsi terjadap game online adalah pekerjaan rumah yang
terlebih dahulu mesti diselesaikan.
GAMERS Indonesia
sejatinya tidak bisa diremehkan. Kevin Susanto misalnya. Ia menduduki peringkat
1.381 dunia dengan genre game Counter Strike Global Offensive. Penghasilannya
Rp921 juta.
Sementara Hansel Ferdinand, pernah membawa pulang hadiah
Rp1,41 miliar. Peringkatnya saat ini 958 dunia. Di kejuaraan dunia, gamers
tanah air juga mampu menunjukkan prestasinya.
Baca Juga:Jabatan Sekda Berpotensi Kosong, Penunjukkan Dilakukan GubernurIni Rincian Data Korban Papua Tim Veronica Koman, Mahfud MD: Kalau Memang Ada ya Sampah saja lah
Atas dasar ini, pemerintah menginginkan e-sports ditekuni lebih serius. Bahkan didorong masuk dalam
kurikulum sekolah. Tapi untuk mewujudkan ini, handicap-nya tidak kalah rumit. Salah satunya mengubah persepsi
dari game itu sendiri.
“Saya tidak paham betul apa itu e-sport. Kalau lihat anak main game,
saya rada nggak suka,” demikian
dikatakan wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 4 Kota Cirebon, Karnoto
SPd.
Baginya, dengan adanya game online pemanfaatan gawai tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti belajar dan mencari pengetahuan
dengan memanfaatkan mesin pencari google. Justru Karnoto merasa risih dengan
siswa yang membawa gawai ketika berada di sekolah. Dengan alasan banyak
permasalahan yang berawal dari handphone, seperti kehilangan ataupun HP yang
jatuh. “Kalau seandainya sekolah tidak boleh membawa Android, bertolak belakang
dong dengan rencana program ini,” tuturnya.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Cirebon, Drs
H Hediyana Yusuf MM juga merasa asing dengan istilah tersebut. Tapi,
dia mencoba memahami, bahwa alasan e-sport
diusulkan menjadi kurikulum adalah potensinya.
Namun Hediyana menilai, e-sport
akan sangat berbahaya bila diterapkan untuk anak SD-SMP. Apalagi bila dimainkan
secara terus menerus, tanpa adanya pengawasan. “Misalkan dilepas begitu saja,
saya khawatir akan menjadi pecandu,” kata dia.
Namun untuk sebuah muatan lokal, ia menganggap bahwa itu
sah-sah saja. Masalahnya, dia ragu akan kemampuan guru dalam memberikan
pelajaran mengenai e-sport kepada
siswanya. “Kayaknya gurunya juga masih gaptek. Kalau diuji coba dalam sebuah
muatan lokal dan ada bimbingan serta pembinaan untuk guru, ya oke-oke saja,” tuturnya.