Fahri menjelaskan, Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara yang ditandatangani pada 26 Desember 1933 mengkodifikasi teori deklaratif kenegaraan. Konversi itu menyebutkan syarat hukum berdirinya sebuah negara yang harus dipenuhi secara mutlak, yaitu memiliki rakyat; wilayah; pemerintahan; kemampuan berhubungan dengan negara lain; pengakuan kedaulatan dari negara lain.
“Berdasarkan hal tersebut maka secara faktual ISIS tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara lain apalagi mendapat pengakuan kedaulatan dari negara lain, sehingga secara hipotetis disimpulkan bahwa ISIS adalah sebuah negara menjadi gugur,” ungkap Fahri.
Fahri menambahkan WNI eks ISIS ini secara hukum telah “stateless” atau tanpa kewarganegaraan. Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan pemerintah memutuskan untuk mereka dipulangkan ke Tanah Air, menurut Fahri, beberapa instrumen dan payung hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan UU 12/2006 perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.
Baca Juga:Kasus Virus Corona Negatif di Indonesia, Ini FaktanyaKemenkes: 6 WNI yang tiba di Batam dari Singapura Bukan Suspect Virus Corona Baru
Misalnya, identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekadar korban? Berikutnya, mana yang levelnya “verry dengerous” karena sangat radikal dan ekstrim sampai pada level yang resikonya sangat kecil? Proses assesment, deradikalisasi pengaturan leading sector-nya, apakah dibawah tanggung jawab BNPT atau siapa? Hal yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat yang tentunya melibatkan pemerintah daerah.
“Hal-hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah. Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU 12/2006 yang mana Pasal 16 mengatur tentang sumpah atau pernyataan janji setia kepada negara Republik Indonesia,” ujar Fahri.
Fahri mencontohkan pengalaman empiris terkait memperlakukan eks kombatan ISIS, yaitu mantan Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Batam, Dwi Djoko Wiwoho. Pada 2018 silam, Djoko dan keluarganya menghilang sejak Agustus 2015 dan belakangan diketahui telah bergabung dengan ISIS dan beroperasi di Irak. Namun, akhirnya Djoko dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia. Djoko mendekam dipenjara setelah divonis 3,5 tahun penjara. Sementara anggota keluarga yang lainnya menjalani program deradikalisasi dan akhirnya dilepaskan.