JAKARTA-Rencana pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) mantan anggota ISIS perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid menilai setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya.
Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyebut “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
“Setiap orang secara konstitusional bebas memilih kewarganegaraannya. Dengan demikian untuk menyikapi soal ini (pemulangan WNI eks ISIS) tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia (HAM) yang telah dijamin oleh konstitusi,” kata Fahri dalam keterangannya, Minggu (9/2/2020).
Baca Juga:Kasus Virus Corona Negatif di Indonesia, Ini FaktanyaKemenkes: 6 WNI yang tiba di Batam dari Singapura Bukan Suspect Virus Corona Baru
Menurut Fahri, terdapat sedikit kompleksitas dari sisi teknis yuridis jika menggunakan instrumen Undang-Undang (UU) Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 23 poin d. Regulasi itu menyebutkan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan “masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden”.
Sementara, poin f yang menyebutkan bahwa “secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”. “Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional,” ujar Fahri.
Fahri menerangkan, secara normatif macam subjek hukum internasional terdiri dari negara berdaulat; gabungan negara-negara; tahta suci Vatikan; organisasi internasional baik yang bilateral, regional maupun multilateral; Palang Merah Internasional; individu yang mempunyai kriteria tertentu; pemberontak (belligerent) atau pihak yang bersengketa; penjahat perang (genocide).
Fahri menuturkan, menjadi sulit secara hukum jika WNI eks ISIS dikualifisir sebagai warga negara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing tersebut sebagaimana diatur dalam kaidah ketentuan pasal 23 poin f UU 12/2006.
“Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara,karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities). Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati-hati agar ketika membangun konstruksi hukum sekaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal – konstitusional, dan tidak melawan hukum,” kata Fahri.