Masalahnya, lembaga Eijkman dalam kasus virus korona ini tidak dilibatkan Kementerian Kesehatan dalam pemeriksaan korona di Indonesia. ”Kami sudah mengajukan surat melalui Kemenristek bahwa Eijkman siap membantu karena ini persoalan bangsa. Namun, sampai kini belum dilibatkan,” kata Amin.
Berulangkali, Terawan dan pihak Kemenkes menyatakan, sejauh ini tak ada kasus positif. Namun, bagaimana proses pemeriksaannya dan pemutakhiran status orang yang terduga terinfeksi tidak dibuka. Padahal, dengan reagen terbaru, seharusnya prosesnya bisa selesai dalam sehari. Hal itu memicu tanda tanya, dan dalam dunia digital seperti saat ini yang menuntut transparansi hal ini bisa menggerogoti kepercayaan terhadap otoritas.
Selama krisis, jika lembaga dan organisasi merespons tidak aktif menyampaikan informasi, publik akan mencari sumber informasi lain yang kerap tidak kompeten, termasuk melalui media sosial. Pada saat inilah hoaks bisa menyebar luas, dan mengalahkan fakta. Derasnya informasi hoaks yang beredar saat ini menandakan publik belum terpuaskan dengan informasi dari pihak berwenang.
Baca Juga:Jabar Perkuat Sinergi sebagai Provinsi Berbudaya Tangguh BencanaInikah Alasan Erdogan Serang Pasukan Bashar al-Assad?
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi 54 hoaks terkait virus korona beredar di media sosial di Indonesia dalam kurun 23 Januari hingga 3 Februari 2020. Bahkan, dua orang telah ditangkap polisi di Balikpapan karena dituding menyebarkan informasi hoaks tentang telah adanya warga lokal yang terinfeksi korona.
Hoaks dan penyelewengan informasi terkait virus korona ini tak hanya terjadi di Indonesia dan memicu berbagai masalah sosial. Contohnya, seperti diwartakan BBC, informasi keliru mengenai korona menyebabkan banyak restoran menolak pengunjung yang dianggap berasal dari China. Bahkan, isu rasisme terhadap siswa-siswa keturunan Asia Timur terjadi di sekolah musik di Roma.
Platform media sosial yang menjadi lalu lintas penyebaran hoaks utama, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Tiktok, berusaha mempromosikan konten yang faktual dan menghilangkan informasi yang salah. Bahkan, Twitter melangkah lebih jauh dengan memasang label peringatan yang menghubungkan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat ketika pengguna mencari coronavirus.
Namun, upaya oleh platform media sosial ini belum berhasil menghentikan penyebaran hoaks yang menyesatkan atau palsu. Misalnya, hoaks bahwa Pemerintah AS menciptakan dan mematenkan vaksin untuk virus korona tahun lalu telah dibagikan kepada hampir 5.000 pengguna Facebook. Demikian halnya hoaks bahwa orang Indonesia kebal virus korona telah dicuit ulang oleh 35.000 orang dan disukai 71.000 orang.