“Sekarang 8 derajat, Pak.”
“Anda nyalakan pemanas?“
“Iya, pak. Tidak kuat dingin.”
“Makanan cukup?“
“Cukup, Pak. Tiga hari lalu kami belanja banyak. Cukup untuk satu minggu ke depan,” jawabnyi.
“Anda berani belanja keluar?”
“Sebenarnya sudah ada pemberitahuan jangan pernah keluar. Kalau perlu bahan makanan bisa pesan lewat guru. Akan diantarkan. Tapi tokonya dekat sekali pak. Hanya lima menit jalan kaki.”
“Anda sendirian waktu belanja?”
“Kami bertempat.”
“Apakah terjadi antrean di toko?”
“Memang banyak yang belanja tapi tidak sampai antre dan tidak sampai berebutan ambil barang. Kebetulan toko ini buka dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore. Ada toko lain yang hanya buka satu jam.”
“Tidakkah sulit untuk keluar kampus?”
Baca Juga:Evakuasi 245 WNI, Pesawat Air Bus A330-300 Telah Mendarat di WuhanPeneliti Indonesia: Ideologi Komunis China Tidak Mampu Tangani Penyebaran Virus Corona
“Di gerbang keluar kami diperiksa ketat. Tapi kami membawa surat lengkap bahwa kami mahasiswa.”
Julinten adalah mahasiswa yang berangkat ke Tiongkok lewat yayasan kami ITCC Surabaya. Setiap tahun yayasan kami memberangkatkan sekitar 350 mahasiswa ke sembilan perguruan tinggi di Tiongkok.
Julinten adalah anak seorang pegawai negeri. Anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnyi pemilik sekolah. Ibunyi ibu rumah tangga.
Julinten lulusan SMA Lentera Harapan Toraja.
“Tentu orang tua Anda mengkhawatirkan keadaan Anda. Di skala berapa tingkat ketakutan orang tua Anda?”
“Di skala 7, Pak”.
“Berapa kali Anda berhubungan telepon dengan orang tua di Toraja?”
“Tiga kali. Pagi, siang, sore.”
“Anda yang telepon orang tua atau orang tua yang menelepon Anda?”
“Selalu orang tua yang telepon saya”.
Huh!
Khas orang tua. Yang sangat mengkhawatirkan anak mereka.(Dahlan Iskan)