DUA minggu terakhir seorang kader PDIP bernama Harun Masiku menjadi topik pemberitaan di seluruh media Indonesia, termasuk media sosial. Sosok politisi ini terkait langsung dengan penangkapan Wahyu Setiawan, Komisioner KPU, yang ditangkap, kemudian dijadikan tersangka oleh KPK pada tanggal 4 Januari 2020. Harun diduga menyuap Wahyu supaya ia bisa lolos KPU dan dilantik sebagai anggota DPR-RI dari PDIP menggantikan almarhum Nazaruddin Kiemas. Hal ini diyakini KPK setelah KPK memeriksa secara intensif Wahyu dan 3 terduga suap lainnya.
Dua hari kemudian, 6 Januari 2020 Harun dikabarkan sudah meninggalkan (baca: kabur) Jakarta menuju Singapura melalui badara Soekarno-Hatta. Artinya, KPK terlambat: sebelum ditangkap, Harun keburu lenyap. Di waktu-waktu lalu, cukup sering memang terduga atau tersangka korupsi keburu kabur sebelum disergap oleh aparat penegak hukum. Koq bisa kabur? Berita tentang rencana penangkapannya bocor atau dibocorkan kepada yang bersangkutan, atau memang sengaja disuruh cepat-cepat meninggalkan Indonesia sebelum ditangkap aparat. Nazaruddin, eks. Bendahara Umum Partai Demokrat, “tokoh besar” berbagai skandal korupsi salah satu contohnya. Ia keburu “menghilang” sebelum ditangkap KPK. Lama sekali ia bersembunyi di luar negeri, bahkan sampai ke Bolivia, sebelum akhirnya– dengan bantuan Interpol – ditangkap petugas KPK dan dibawa ke Tanah Air.
Apakah Harun Masiku juga menghadapi kasus serupa: Disuruh cepat-cepat kabur sebelum disergap oleh KPK? Wallahuallam.
Baca Juga:Arwana 6 TKunjungi SDN 04 Samudrajaya, Ahmad Syaikhu: Jangan Tunggu Ada Korban Baru Diperbaiki
Pada Awal tulisan ini, saya mengatakan Harun Masiku belakangan ini menjadi topik hot pemberitaan di seluruh media Indonesia. Dia tokoh kunci dalam kasus suap Wahyu Setiawan. Jika Harun berhasil ditangkap dan dikorek habishabisan oleh penyelidik KPK, kasus Wahyu bakal menjadi cerita yang menggemparkan! Dengan catatan, (a) KPK memang punya keberanian FULL untuk membongkar tuntas kasus ini dan (b) Harun mau membuka suara apa adanya. Akan terbongkar, misalnya, rahasia di balik ngototnya sikap DPP PDIP – ditandai dengan 3 kali melayangkan surat resmi ke KPU — untuk mendudukkan Harun sebagai anggota DPR RI menggantikan Ibu Aprilia, padahal jelas-jelas ketentuan perundang-undangan mengatakan pengganti calon anggota legislatif yang meninggal adalah calon peraih suara terbesar kedua; padahal Harun peraih suara ke-5; selisih suaranya hanya sekitar seper-delapan dari suara yang diraih Ibu Aprilia. Putusan Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa yang cenderung berpihak kepada PDIP juga penuh misteri. Mahkamah Konstitusi sudah dengan tegas mengatakan MA tidak punya kewenangan untuk menguji keabsahan Undang-Undang; MA hanya berwenang memeriksa keabsahan peraturan DI BAWAH undang-undang.