CILACAP-Gelombang tinggi diprakirakan masih berpotensi di laut Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah (Jateng), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kata Analis Cuaca BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap, Rendi Krisnawan.
“Berdasarkan prakiraan cuaca harian, tinggi gelombang laut Selatan tiga provinsi itu dalam beberapa hari ke depan memang diprakiraan masuk kategori rendah,” katanya di Cilacap, Jateng, Jumat.
Akan tetapi, tambah dia hal itu bukan berarti gelombang di wilayah perairan maupun Samudra Hindia sudah mulai kondusif untuk pelayaran.
Baca Juga:Soal Kelompok Sunda Empire, Ridwan Kamil: Banyak Orang Stres Di Republik IniPasutri Ini Bayar Biaya Persalinan Pakai Pecahan Uang Koin Rp 1.000
Menurut dia, hal itu disebabkan wilayah laut Selatan Jabar, Jateng, dan DIY saat sekarang sudah dipengaruhi musim angin baratan sehingga gelombang tinggi masih berpotensi terjadi.
“Saat musim angin baratan, angin di permukaan laut bertiup sangat kencang sehingga memicu terjadinya gelombang tinggi,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mengimbau seluruh pengguna jasa perairan untuk selalu memantau prakiraan tinggi gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG agar terhindar dari gelombang tinggi.
Terkait dengan prakiraan tinggi gelombang, Rendi menjelaskan berdasarkan model sinoptik meterologi yang digunakan BMKG Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung, tinggi gelombang laut Selatan, baik di Jabar, Jateng, DIY, Samudra Hindia Selatan Jabar, Jateng, dan DIY diprakirakan berkisar 1 hingga 2 meter.
“Tinggi gelombang tersebut diprakirakan akan berlangsung hingga tanggal 19 Januari 2020,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap, Sarjono mengimbau nelayan untuk tidak melaut karena saat sekarang sedang berlangsung musim angin baratan sehingga sering terjadi cuaca ekstrem.
“Saat ini sebenarnya merupakan masa istirahat bagi nelayan karena sedang berlangsung musim angin Barat sehingga sering terjadi gelombang tinggi secara tiba-tiba sehingga sangat berbahaya bagi kapal nelayan. Kondisi seperti ini biasanya berlangsung selama tiga hingga empat bulan,” terang Sarjono.
Oleh karena itu, dia mengimbau nelayan untuk memanfaatkan waktu selama tidak melaut dengan memperbaiki alat tangkap maupun kapalnya agar siap digunakan ketika kondisi cuaca kembali bersahabat. (Antara)