Jenderal itu berupaya untuk memperluas pengaruh Iran di Irak, dengan menghancurkan militer Amerika. Pemerintah Iran bertekad untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu, dan merasa terancam dengan meluasnya kehadiran militer Amerika di sisi barat dan timurnya.
Pada 2011, Kementerian Keuangan AS menempatkan Qassem Soleimani dalam daftar hitam sanksi, menuduhnya terlibat dalam apa yang disebut pejabat Amerika sebagai plot untuk membunuh Duta Besar Saudi di Washington.
Namun, kadang-kadang, musuh tampak lebih seperti sekutu, betapapun lemahnya hubungan itu. Para pejabat Amerika sempat bekerja sama dengan jenderal Iran di Irak untuk melemahkan ISIS, yang merupakan musuh mereka bersama.
Baca Juga:Iran akan Balas AS Atas Pembunuhan Komandan Pasukan Elit Quds Jenderal SoleimaniBanjir Tanah Longsor di Jabodetabek, BNPB: Korban Meninggal Bertambah Menjadi 53 Orang
Dilansir dari The New York Times, pada puncak Perang Irak, saat Pasukan Quds di bawah Jenderal Soleimani mempersenjatai dan melatih militan Syiah di Irak, mantan pejabat Amerika mengatakan bahwa jenderal itu memicu kekerasan dan kemudian menengahi konflik. Itu dilakukan sehingga ia dapat membuat dirinya tampak sangat diperlukan dan membuat Irak rentan.
Menurut laporan pada Juni 2008 yang ditulis oleh Ryan C. Crocker, yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar Amerika untuk Irak, Jenderal Soleimani memainkan peran dalam memperantarai gencatan senjata yang memungkinkan militan Syiah yang didukung Iran (yang telah babak belur di daerah Kota Sadr di Baghdad) untuk mundur.
Pada 2015, Jenderal Soleimani berada di kota Tikrit di Irak utara, memimpin militan Syiah Irak yang berusaha merebut kota itu kembali dari para militan ISIS. Pesawat-pesawat tempur Amerika terlambat bergabung di operasi itu.
Jenderal Soleimani menjadi terkenal selama perang delapan tahun Iran dengan Irak. Sebagai komandan Garda Revolusi, ia dipromosikan untuk memimpin misi pengintaian di belakang garis Irak.
“Bagi Qassem Soleimani, perang Iran-Irak tidak pernah benar-benar berakhir,” kata Crocker dalam wawancara dengan The New York Times. “Tidak ada manusia yang bisa melalui konflik gaya Perang Dunia I tanpa terpengaruh selamanya. Tujuan strategisnya adalah kemenangan mutlak atas Irak, dan jika itu tidak mungkin, setidaknya menciptakan dan mempengaruhi Irak yang lemah.” (*)