BANDUNG- Skandal suap kasus pedangdut Saiful Jamil yang telah menjerat mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi saat ini kembali menjadi perhatian publik, usai disebutkan bahwa selama ini terpidana hanya dijadikan tumbal agar otak yang menjadi pelaku utama penikmati suap lolos dari jeratan hukum.
Pengamat hukum pidana korupsi, Mohammad Saleh Gawi yang selama ini terus mengikuti proses persidangan dan konstruksi hukum mantan panitera pengganti Jakarta Utara Rohadi, menjelaskan bahwa ada yang ditumbalkan dalam perkara ini.
Saleh Gawi mengatakan didalam memori Peninjauan Kembali (PK) kasus Rohadi sudah dijabarkan bahwa setiap kasus pidana yang melibatkan banyak orang pasti ada otaknya (dalang pelaku sesungguhnya-red).
Baca Juga:China Melihat Muslim sebagai Ancaman? Ini SejarahnyaViral Foto Bareng Pengancam Jokowi, Mahfud MD Tanggapi Santai: Memang Gue Pikirin!
Sementara itu, dalam konstruksi kasus Rohadi itu sendiri, Saleh mengatakan tidak seharusnya terpidana itu dijerat dengan Pasal 12 huruf a karena bukan merupakan otak pelaku utama terjadinya skandal suap kasus Saiful Jamil.
“Jadi begini logikanya, setiap kasus pidana yang melibatkan banyak orang pasti ada otaknya. Harus ada otaknya. Nah, oleh karena ada keinginan Hakim Majelis Pengadilan Tipikor pada Majelis PN Jakarta Pusat meloloskan hakim-hakim sebagai otak, sebagai inisiator, sebagai penerima uang suap. Agar tidak dijerat hukum, maka dia harus memunculkan otak pelaku dan akhirnya dibebankan kepada Rohadi,” ungkap Saleh, (26/12).
Menurut Saleh, Rohadi selama ini hanya menjadi korban kendati melakukan kesalahan, pasalnya dia memikul beban pidana yang dilakukan oleh atasannya.
“Kalau hakim tidak menjadikan Rohadi sebagai otak dari pelaku pidana, maka Majelis Hakim akan terbebani untuk mencari otak lainnya, karena sebuah tindak pidana yang melibatkan banyak orang mesti ada otak pelakunya. Mereka berniat menyelamatkan hakim-hakim penerima suap itu sehingga membebani otak kepada Rohadi,” ungkapnya.
Sementara itu, Saleh mengatakan pada tingkat Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rohadi divonis dengan beban hukum yang berat dan memikul beban pidana yang melampaui perbuatannya.
“Dia hanya menghubungkan, bukan sebagai panitera pengganti dan tidak menikmati uang suap. Semua fakta hukum itu sudah dijelaskan secara eksplisit itu disetting oleh Bertha selaku pengacara Saiful Jamil bahwa dia dijadikan sebagai penghubung antara pemberi suap yakni Bertha itu sendiri dan penerima suap Hakim Ifa dan kawan-kawannya, ” paparnya.