Dianggap dapat menegangkan kerukunan antarumat beragama, pemerintah turun tangan. Menteri Agama Letjen TNI (Purn.) Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam memoarnya H. ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, menuliskan: “Saya undang pimpinan Mejelis Ulama. Saya sarankan agar fatwa tersebut dicabut dan saya akan mengambil-alih dengan mengeluarkan peraturan.”
Hamka tak lantas mencabut fatwa itu. Dia hanya mengeluarkan Surat Keputusan MUI No. 139 tahun 1981 mengenai penghentian edaran fatwa. Namun, dalam surat pembaca yang ditulisnya dan kemudian dimuat di Kompas 9 Mei 1981, dia menjelaskan Surat Keputusan MUI itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal. “Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian aqidah Islamiyah,” tulis Hamka.
“Drama” kemudian bergulir. Hamka meletakkan jabatan. Dalam buku Mengenang 100 Tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka: “Masak iya saya harus mencabut fatwa,” kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama.
Baca Juga:Beredar Broadcast “Silakan Ucapkan Selamat Natal”, Aa Gym: Innaalillahi Wainnaa Ilaihi Roji’uunDitunjuk Jadi Dirut PLN Zulkifli Janji Atasi Byer Pet
Gonjang-ganjing MUI dan fatwa tersebut sampai ke DPR. Menurut Kompas, 21 Mei 1981, dalam tanggapannya di depan rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Menteri Agama berencana menghelat pertemuan dengan Musyawarah Kerukunan Antar Agama untuk merumuskan batasan kegiatan seremonial atau ibadah mana yang bisa dan tidak bisa diikuti orang di luar umat agama tersebut.
Pada 2 September 1981 Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor MA/432/1981 kepada berbagai instansi pemerintah. Isinya menjelaskan: selepas acara kegiatan ibadah umat Kristiani, yakni acara seremonialnya, boleh saja pemeluk agama lain hadir mengucapkan dan merayakan Natal. Kegiatan ibadah, menurut surat edaran tersebut, adalah sembahyang, berdoa, puji-pujian, bernyanyi, membakar lilin, dan lain-lain. Demikian juga umat Islam, ketika salat Idul Fitri atau Idul Adha tak pernah mengundang pemeluk agama lain, tapi setelah selesai salat pintu terbuka untuk semua tamu. (*)