JAKARTA-Semula Nawawi Pomolango adalah seorang hakim. Kini, dia menjabat Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) periode 2019-2023 yang akan dilantik sore nanti, Jumat, 20 Desember 2019.
Ia mengawali karirnya sebagai hakim di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, pada 1992.
Karirnya menanjak menjadi Ketua Pengadilan Negeri Poso, Sulawesi Tengah, lalu Wakil Ketua PN Bandung, Ketua PN Samarinda, Ketua PN Jakarta Timur, lantas hakim di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali.AdvertisingAdvertising
Baca Juga:Sah, Salahudin Rafi Jadi Direktur Utama PT Bandarudara Internasional Jawa Barat (BIJB)KPK Ingatkan Pemerintah Berhati-hati Dalam Menyusun Omnibus Law
Nawawi Pomolango memperoleh 50 suara dalam uji koleh elayakan Komisi Hukum DPR.
Dia sarjana hukum dengan spesialisasi perdata. Nawawi berkarir sejak 1988 atau sudah 30 tahun menjadi hakim.
Nawawi lahir pada 28 Februari 1962 di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Nama Nawawi mulai moncer setelah memutus perkara suap yang melibatkan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Kasus ini berkaitan dengan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dia juga alah satu hakim yang memutus perkara suap mantan Ketua DPD Irman Gusman yang berkaitan dengan kuota gula impor.
Ketika bertugas di PN Jakarta Pusat, Nawawi Pomolango dikenal spesialis mengadili perkara korupsi limpahan dari KPK. Bahkan, sewaktu dia menjabat Ketua PN Jakarta Timur diperbantukan sebagai Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pelantikan Nawawi Pomolango bersama empat Pimpinan KPK lainnya akan diadakan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, sekitar pukul 15.00 WIB.
Baca Juga:Carut-Marut Jiwasraya hingga Gagal Bayar Polis, Kejagung Rahasiakan Identitas 89 OrangKedubes Tiongkok Bantah Laporan Wall Street Journal soal Uighur Fitnah
Dalam uji kelayakan Calon Pimpinan KPK di DPR, Nawawi Pomolango menyatakan setuju dengan salah satu poin revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dia menyoroti pegawai KPK akan menjadi aparatur sipil negara, bukan lagi entitas independen yang terpisah dari eksekutif.
Nawawi menyetujui hal tersebut dengan alasan selama ini ada persoalan terkait wadah pegawai karena berada di luar kebijakan ASN. Menurut dia,, di Indonesia tidak punya konsep birokrasi seperti itu. (*)