MENARIK. Liberalisasi dan deregulasi yang dilakukan rezim Habibie, membuat media kita bagai kuda yang lepas dari tali kekang. Jumlah media massa pasca Orde Baru berbiak luar biasa. Soal mazhab media? Meriah!
Jika di awal Reformasi media cetak tumbuh pesat, kini media daring yang melejit. Kuantitas media yang besar berbanding lurus dengan ketatnya persaingan. Seiring dengan itu, membesar pula kebutuhan awak media sebagai mesin produksi.
Adanya tren konvergensi yang marak, menuntut awak media berkemampuan multi tasking. Tak hanya perlu piawai menuangkan kabar yang sudah diverifikasi dengan rangkaian kata yang benar, runtut, dan sesuai standar etika jurnalistik, wartawan pun harus memiliki selera fotografi yang apik, membuat vlog, plus mengunggah konten ke jejaring media sosial.
Baca Juga:Kasus Yuli Riswati yang Dideportasi dari Hongkong, Begini Penjelasan KemenluRocky Gerung: Kalau Presiden Paham Pancasila, Dia Tak Berutang
Dengan beban multi tasking yang tak linear dengan tingkat remunerasi dan cepatnya pola rotasi antardesk, membuat awak media daring serupa penumpang moda transportasi yang sedang transit. Baru menyesuaikan diri, sudah dituntut menghasilkan berita yang bernas, akurat, sekaligus menarik.
Kekagetan tersebut tentu saja berakibatnya pada informasi yang disajikan karena belum memahami bidang liputan. Apakah hal tersebut masalah? Tidak juga selama mayoritas konsumen informasi di Indonesia pun hanya butuh informasi serupa kudapan crackers yang ringan, atau bahkan cukup remah crackers berupa news feed.
Riset konsumsi media terhadap 300 mahasiswa Gen-Z di 30 kampus se-Jakarta yang dilakukan pada Juni 2017 menemukan bahwa pola konsumsi berita didominasi melalui penggunaan aplikasi tukar pesan seperti WhatsApp dan Line, maupun news feed yang disediakan Facebook dan Line Today. Bila pola konsumsi Gen-Z di Jakarta dianggap sebagai representasi pola konsumsi pembaca berita daring di Indonesia, maka dapat dimaklumi jenis berita yang harus diproduksi media massa daring adalah berita ringan, cenderung remeh, dan sensasional.
Produk berita yang renyah tersebut akan menarik untuk dibagikan (viral) melalui media sosial maupun aplikasi tukar pesan. Riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 dan 2017 mendapati mayoritas penggunaan internet di Indonesia adalah untuk ngobrol (chatting) melalui media sosial. Maka tidak mengherankan bila isu di media sosial dengan media daring pun makin erat: media sosial adalah alat pemicu kabar (news-breaking tool). Yang jadi masalah, media massa kemudian memproduksi berita dengan hanya berdasarkan topik yang populer di media sosial dan mengabaikan fungsi jurnalisme dalam menyodorkan pembicaraan publik yang bermutu. Repotnya, informasi yang beredar melalui media sosial tersebut kemudian ditulis begitu saja sebagai berita oleh awak media yang kemudian dipercaya pembaca sebagai sebuah kebenaran untuk diviralkan.