Jakarta: Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta bersuara terkait artikel di media Amerika Serikat (AS), The Wall Street Journal (WSJ), yang menyebutkan organisasi masyarakat Indonesia bungkam usai diajak mengunjungi Xinjiang. Wilayah itu merupakan populasi utama dari etnis Uighur.
Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta Qiu Xinli menanggapi artikel WSJ berjudul ‘How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps’ itu. Artikel tersebut dipublikasi pada 11 Desember 2019 dan langsung memicu kontroversi.
Artikel tersebut memaparkan bahwa Pemerintah Tiongkok berupaya mengubah opini atau pandangan muslim di Indonesia maupun negara lainnya dengan memberikan sumbangan atau dukungan finansial.
Baca Juga:Ajukan PK dengan Bukti Baru, Rohadi: Buka Handphone yang Disita KPK, Ada Percakapan Saya dengan Hakim Ifa SudewiMahfud MD: UU dan Perda Dibuat oleh Orang-Orang Tertentu agar Ada Aturan Tertentu
Namun menurut Qiu Xinli, Tiongkok merupakan negara multietnik dan multiagama. Undang-undang Dasar maupun hukum Tiongkok memberikan perlindungan seutuhnya untuk menjamin kesetaraan antar-etnik, kebebasan beragama dan kepercayaan, serta hak asasi manusia (HAM).
“Xinjiang merupakan salah satu daerah otonomi etnik minoritas di Tiongkok. Pemerintah menjamin hak dasar untuk hidup dan berkembang bagi 25 juta warga Xinjiang dari berbagai etnik. Patut disayangkan, Xinjiang telah mengalami banyak penderitaan akibat aksi kekerasan, radikalisme, bahkan terorisme,” sebut Xinli, dalam keterangan resmi Kedubes Tiongkok di Jakarta yang dirilis pada Rabu, 18 Desember 2019, yang dikutip beritaradar.com, Kamis, 19 Desember 2019.
Qinli menyoroti bahwa sejak 1990 hingga 2016, telah terjadi ribuan kasus kekerasan dan terorisme di Xinjiang. Kasus-kasus ini melibatkan serangan bahkan pembunuhan terhadap banyak warga tidak berdosa, termasuk warga Muslim Uighur dan pemuka agama. Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang telah mengambil serangkaian tindakan hukum untuk memberantas aksi kekerasan dan aktivitas terorisme, termasuk aktif menindaklanjuti program deradikalisasi.
“Hasilnya cukup signifikan,” menurut Xinli.
“Dalam tiga tahun terakhir, tidak satu pun kasus serangan terorisme yang terjadi di Xinjiang. Isu yang berhubungan dengan Xinjiang pada dasarnya bukan isu HAM, etnik, ataupun agama, melainkan masalah pemberantasan separatisme dan terorisme,” imbuhnya.
Menurut Xinli sejumlah media Barat berupaya mencemarkan program antiteror dan deradikalisasi yang dilakukan di Xinjiang, Tiongkok. “Mereka bahkan juga berupaya mengadu-domba hubungan persahabatan antara Tiongkok dan dunia Muslim,” tegasnya.