Seperti berulang kali dikatakannya, sejak awal terkuaknya kasus ini, dia sudah merasakan tidak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Hal itu diungkapkannya dengan beberapa alasan:
Pertama, karena dia sama sekali tidak menikmati sepeser pun uang suap itu. Dengan bahasanya, Rohadi mengatakan: “Uang yang Rp. 50 juta itu begitu saya terima langsung saya serahkan kepada (panitera) Rina Pertiwi. Uang itu akan digunakan untuk plesiran para hakim bersama para karyawan PN Jakut ke Solo. Karena dianggap kurang, saya talangi dengan uang saya sendiri sebesar Rp. 50 juta lagi. Bahkan untuk menyewa bis wisata Dwi Dua Putera untuk jalan-jalan di Solo, saya keluar uang lagisebesar Rp. 16 juta. Jadi merekalah yang menikmati uang itu. Saya tidak ikut ke Solo, tapi saya malah keluar uang banyak.”
Sedangkan uang yang Rp. 250 juta, katanya, rencananya akan diantarkan kepada Hakim Ifa Sudewi yang sudah pindah ke Surabaya. Tapi karena dia sudah keburu kena OTT KPK, maka uang itu tidak sempat diantarkan kepada hakim yang memutus perkara Saipul Jamil itu. Karena sudah disita KPK.
Baca Juga:Beres-beres BUMN, Erick Thohir Pilih Kencangkan Ikat PinggangAngkat Tangan, Nadiem: Guru Honorer Itu Kewenangan Pemerintah Daerah
“Meskipun begitu, para hakim, panitera dan karyawan yang ikut plesiran ke Solo itu kan sudah menikmati uang yang Rp. 50 juta, berikut tambahan dari saya itu,” begitu Rohadi memaparkan berulang kali.
Kedua, katanya, karena memang hanya dia saja yang dikorbankan dalam kasus itu. Awalnya, dia memang berusaha melindungi sejumlah hakim yang terlibat. Setelah beberapa kali didatangi oleh Hakim Tinggi Jawa Barat Karel Tuppu. Tapi setelah tiga tahun lebih mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, ternyata tidak seorang pun dari koleganya di PN Jakut itu yang peduli dan datang menengoknya.
Semuanya seperti lepas tangan dan tidak peduli terhadap nasib dirinya. Karena itulah, hemat kita, Rohadi ingin membongkar kasus itu semuanya secara transparan. Sebagaimana bahasa protes Rohadi: Ternyata Konsep EBL atau kesamaan di depan hukum itu hanyalah buah bibir orang-orang pintar. Tapi sulit didapatkan dalam kenyataan.
Meskipun keadilan itu tetap dia harapkan akan dia peroleh dari putusan PK di MA, namun hal itu sejauh ini memang sesuatu yang sangat mahaluntuk terwujud di negeri ini. Sesuatu yang karenanya harus terus diperjuangkan seluruh anak bangsa. Sebagaimana tekad dan keinginan luhur Rohadi. Kini dan di masa yang akan datang. (*)